Minggu, 20 April 2008

Pertemuan 44


ETIKA KERJA

Tujuanumum 1. Katekumen memahami dasar-dasar Alkitabiah

tentang kerja 2. Katekumen memahami makna kerja dalam rangka

Kerajaan Allah.

Tujuankhusus 1. Katekumen dapat menentukan pandangan dan sikap

pribadi terhadap kerja.

2. Katekumen memiliki koinitmenkomitmen terhadap masalah orang-orang yang tidak produktif.

3. Katekumen memiliki koinitmenkomitmen terhadap kesejahteraan diri sendiri dan masyarakatnya.

PENGANTAR

Pokok bahasan dalam pertemuan ini lebih menekankan pekerjaan yang sifatnya ekonomis, menghasilkan uang atau barang. Tentu saja aspek rohani (religius) tetap ditekankan sebagai dasamya. Kita bergumul dengan masalah kemiskinan dan bagaimana meningkatkan kesejahteraan seba­gai orang-orang yang bermartabat. Kemiskinan itu harus dijawab dengan bekerja secara produktif. Karena itu kita perlu memahami dan menghayati hakekat dari pekerjaan karena dari situlah energi perjuangan kita. Di samping itu kita perlu mempersoalkan dan menyikapi kenyataan hidup yang tidak produktif, baik jemaat, masyarakat maupun diri sendiri. Secara berturut-turut kita akan membahas pokok-pokok sbb.:

I. Kerja menurut Alkitab

1. Pekerjaan Allah

2. Pekerjaan manusia

3.

4.

Pembedaan macam-macam pekerjaan

a. Menurut bidangnya

b. Menurut sifatnya

c. Menurut moral

Akibat dosa bagi kerja/pekerjaan

a. Menjadikan manusia bersusah payah/menderita

b. Kerja menjadi berhala

c. Kerja menjadi alat memeras/menindas

d. Kemalasan dan pemalas

e. Sikap fanatik dalam kerja

II. Nilai kerja bagi manusia

1. Kerja itu mutlak untuk meningkatkan martabat

2. Kerja itu berdimensi Kerajaan Allah

3. Kerja itu sebagai medan kesaksian dan pelayanan

4. Kerja itu bersifat sosial

III. Refleksi

1. Semua pekerjaan yang halal itu terhormat

2. Bekerja sesuai dengan talenta/bakat

3. Pedoman untuk mengetahui bakat

4. Alternatif dalam mencari kerja

5. Budaya malas

6. Wanita dan pekejaan

7. Mental kerja

A. URAIAN

I. KERJA MENURUT ALKITAB

1. Pekerjaan Allah

Allah itu bekerja.Allah menyatakan diri kepada manusia sebagai Allah yang bekerja (Kej. 1:1 dst). Allah menciptakan langit, bumi dan seluruh isinya serta manusia. Dia memberi nama kepada ciptaan-Nya (Kej. 5:29). Dia mengutus Musa, Dia membuat tulah di Mesir dan memimpin Israel keluar dari sana (Kel. 6-18). Dia memberikan Dasa Firman kepada Israel (Kel. 19:1dst.). Dia menguatkan umat-Nya untuk menghadapi lawan mereka (Mzm.-8:3). Semua itu adalah contoh-contoh pekerjaan Allah. Dalam PL, Allah itu dikenal dari pekerjaan-Nya. Allah Israel adalah Allah yang bekerja. Pekerjaan-Nya memmjukkan kebesaran dan keperkasaan tangan-Nya dalam sejarah umatNya. PekerjaanNya itulah yang membedakan Dia dengan ilah-ilah (berhala-berhala), Ul. 3:24. Semua pekerjaan Allah itu berpuncak pada karya Yesus Kristus sebagai Juruse-lamat manusia. Dia adalah Allah yang bekerja sebagaimana dinyatakan dalam PL. Pekerjaan-Nya adalah bukti pengutusan dirinya oleh Allah Bapa (Yoh.5:36). Kata Yesus: "BapaKu bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga" (Yoh. 5:17). Pekerjaan Yesus itu sendiri adalah pekerjaan Allah (Yoh. 9:4). Pekerjaan-Nya itu menjadi dasar iman orang percaya (Yoh. 10:38; 14:10-11). Sesudah kenaikan-Nya ke sorga Roh Kudus bekerja sebagai Allah pembebas agar Allah menjadi semua di da­lam semua (1 Kor. 15:28b). Dari PL maupun PB, Allah adalah Allah yang bekerja. Dia bukan penganggur.

2. Pekerjaan Manusia

Allah memerintah manusia supaya bekerja. Kej. 1:26 mengatakan bah-wa Allah menciptakan manusia sesuai dengan gambar-Nya. Diciptakan sebagai "gambar-Nya" dimaksudkan agar manusia menjadi partner Allah dan berkuasa atas semua ciptaan lainnya. Manusia adalah ciptaan-Nya yang tertinggi. Perbedaan antara manusia dengan makhluk lainnya ialah manusia itu diberi pikiran atau akal budi sedangkan makhluk lainnya tidak. Binatang mempunyai naluri, bukan akal. Kepada manusia itulah Allah memerintahkan supaya bekerja. Sabda-Nya: "... penuhilah bumi dan taklnukkanlah itu " (Kej. 1:28). Kata "taklukkanlah" (ay.28) dan "berkuasa" (ay 26) adalah kata kerja. Bukan kata benda atau kata keadaan. Perintah itu terdengar lagi di Kej. 2:15 agar manusia itu mengusahakan dan memelihara taman Eden yang ditempatinya. Eden di sini secara lebih luas berarti bumi. Sesudah manusia jatuh ke dalam dosa, taman Eden telah hilang. Karena kerja adalah amanat Tuhan, maka kerja itu menjadi aspek hakiki keberadaan manusia sebagai makhluk. Artinya, kerja itu bersifat religius (agamawi), tidak semata-mata manusiawi atau berdasarkan kemauan manusia. Manusia dan kerja tidak terpisahkan.

3. Pembedaan Macam-macam Pekerjaan.

Ada bermacam-macam pekerjaan yang disebut dalam Alkitab.

a. Menurut bidangnya

i. Pertanian. Perintah mengusahakan dan memelihara itu berhubungan erat dengan citra petani di Timur Tengah waktu itu. Dengan mengelola tanah, mereka mendapat penghasilan untuk memenuhi kebutuhan bidup. Mengusahakan dan memelihara adalah dinamika seluruh pekerjaan itu yang harus berfalan bersama. Mengusahakan tanpa memelihara sama dengan memeras dan merusak bumi ini.

ii. Perasahaan/perburuhan/perdagangan. Buruh juga disebut peker­ja. Mat. 9:37-38; Luk. 10:1-2 (pekerja panenan), Mat. 20:1-2 (pekerja kebun anggur), Mat. 20:8 (mandur), Yak. 5:4 (buruh dan upah), Kis. 19:24 (perusahaan patung). Sehubungan dengan perusahaan/perdagangan ini juga disebutkan keuntungan (Kis. 16:16,19; 19:24).

iii. Pertukangan (Kej. 4:22 tukang tembaga, 1 Taw. 14:1, tukang batu dan kayu, Kis. 19:24 tukang kerajinan perak, Kej. 4:22 tukang besi, Ul. 29:11 tukang belah kayu dan timba air, Yer. 18:1 tukang periuk, 2 Taw. 2:2 tukang pahat).

b. Menurut Sifatnya

i. Koerja kasar. Lihat a,b,c tersebut di atas. Perlu dicatat bahwa Alkitab menghargai pekeirjaan kasar.Kerja kasar itu tidak hina. Bukan hanya tugas budak. Bahkan Yesus juga menjadi tukang kayu. Kita diingatkan supaya menghargai pekerjaan kasar.

ii. Kerja intelektual. Pelakunya: cendekiawan misalnya, ahli Taurat.

c. Menurut moral

i. Pekerjaan halal: buruh, tani, tukang, dagang dll., semua yang dilakukan dengan jujur.

ii. Pekerjaan haram: penindasan, pelacuran, pemerasan, penipuan, riba dan setiap usaha yang dilakukan dengan tidak jujur, Karena kerja adalah amanat Allah, seharusnya manusia bekerja de­ngan sukacita. Tetapi sesudah manusia jatuh ke dalam dosa, dosa menjungkirbalikkan nilai kerja dan manusia harus susah payah bekerja.

4. Akibat Dosa Bagi Kerja/Pekerjaan

a Menjadikan orang bersusah payah, menderita. Tuhan berfirman: "dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu ...." (Kej. 3:19).

Dosa juga menyusup dan merusak semua pekerjaan manusia di semua bidang. Pekerjaan menjadi beban, bukan lagi berkat. Firman Tuhan: "semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu" (Kej. 3:18).

b. Kerja menjadi berhala. Artinya, kerja tidak lagi sebagai aktualisasi diri manusia dan memuliakan Allah melainkan menjadi berhala yang diagungkan dan dimutlakkan. Di situ kerja kehilangan sifat religiousnya. Prestasi dan hasil kerja justru menjadi mamon yang mencelakakan (Pkh.2:4-10).

c. Kerja menjadi alat memeras/menindas orang lain. Misalnya Kel.1:11-14 tentang rodi/kerja paksa di Mesir, Kej. 2:23 Israel menjadi budak di Mesir, Yak.5:4 tentang majikan yang menahan upah buruh.

d. Kemalasan dan pemalas. Kemalasan muncul sebagai akibat dosa.
Kemalasan itu sendiri pun adalah dosa. Ada orang-orang malas yang suka keluar masuk rumah orang, meleter, mencampuri urusan orang lain dan mengatakan hal-hal yang tidak pantas (1 Tim. 5:13). Kemalasan ini menyebabkan kemiskinan. "Orang malas tidak akan menangkap buruannya, tetapi orang rajin akan memperoleh harta yang berharga" (Ams.12:27, bnd. 10:4; 14:23). Pemalas adalah perusak (Ams. 18:9). Para pemalas diserukan supaya bertobat. Kemalasan mereka erat dengan dusta dan orangnya enggan untuk bertobat (Yer. 9:5). Para pemalas dise­rukan supaya belajar dari semut karena semut lebih bijak daripada mereka. "Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak" (Ams. 6:6). Boleh kita catat kemalasan itu juga timbul sebagai efek negatif dari pemberitaan Paulus bahwa Yesus segera akan datang. Mereka adalah generasi terakhir (lihat 1 Tes. 4:15-18). Orang lalu berpikir bahwa tidak perlu bekerja lagi. Bukan kesalahan Paulus tetapi mereka yang menangkap secara salah atau menyalah artikan. Paulus sendiri tetap giat bekerja sampai akhir hayatnya.

e. Sikap fanatik terhadap kerja. Ada orang yang kesetanan kerja, yaitu ketika kaki menjadi kepala dan kepala menjadi kaki untuk tujuan harta dan bersenang-senang, lupa akan Allah yang menentukan hidup mati mereka. Di situ kerja menjadi tuan dan orang menjadi budaknya (bnd. Pkh. 5:17-19).

Kedatangan Kristus menebus manusia dari kuasa dosa. Dia memulihkan kembali kerja menjadi berkat. Karena itu semua orang dipanggil supaya menghargai pekerjaan (1 Tes. 4:11). Pencuri berhentilah mencuri dan mau bekerja keras. Bekerja keras itu tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri tetapi supaya dapat menolong sesamanya (Ef. 4:28). Kemalasan dikecam keras. Paulus dengan tegas mengatakan "Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan" (2 Tes. 3:10). Segala pe­kerjaan yang baik adalah jalan berkat Tuhan. Di dalam Kristus, nilai ker­ja dipulihkan kembali di semua bidang: perdagangan, kepegawaian, pertanian dll. Manusia hidup untuk Tuhan, mati juga untuk Tuhan (Rm. 14:7-8). Para pemalas harus diperingatkan. Mereka yang membandel, supaya dijauhi tetapi diperingatkan terus sebagai saudara (2 Tes 3:10-14). Perlu kita ketahui bahwa Yesus sendiri bekerja sebagai tukang kayu (Mrk. 6:6:3). Dia suka pekerjaan apa pun, termasuk pertukangan yang adalah kerja kasar.

Selanjutnya, perlu kita pahami bahwa setiap pekerjaan mempunyai tuntutan kualitas. Supaya kita mengerjakan semua pekerjaan dengan baik atau yang terbaik. IiLihatlah Allah yang pada akbhir penciptaan-Nya memandang semua yang dikerjakan-Nya itu amat baik. "Maka Allah meulihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik" (Kej. 1:31). Dalam suratnya kepada jemaat Kolose, Paulus menasihatkan:"Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti un­tuk Tuhan dan bukan untuk manusia" (3:23). Jadi, tidak boleh bekerja asal-asalan. Hendaknya kita kerjakan setiap pekerjaan dengan sebaik mungkin. Pekerjaan itu hendaknya mendatangkan kepuasan batin kita. Kepuasan itu tercapai apabila diyakini bahwa pekerjaan yang dilaksanakan itu mempunyai makna dan kita sebagai pelakunya sadar sebagai subjek yang berarti. Kepuasan batin tentu saja menyangkut kualitas prestasi atau hasil kerja. Utamanya dalam ikhlim persaingan kerja dan pencari kerja dimana standarisasi mutu hasil menjadi mutlak.

5. Nilai Kerja Bagi Manusia

a. Kerja itu mutlak untuk meningkatkan martabat manusia. Hakikat manusia adalah partner kerja Allah dalam mengelola dunia. Martabat itu direalisasikan melalui kerja. Dengan bekerja manusia memuliakan Allah dan mendapatkan berkat. Iman (kasih) menggerakkan manusia dalam bekerja dengan semangat kasih. Maka kerja tidak semata-mata untuk mencari nafkah. pendapat seperti itu mempersempit arti kerja. Bandingkanlah dengan "Orang kaya yang bodoh" (Luk. 12:16-21). Orangnya produktif, menjadi kaya. Tetapi kekayaannya menjadi segala-galanya, andalan hidup matinya atau mamon baginya. Peringatan tenang kemalasan juga berlaku bagi kita. Kita harus rajin dan produktif tetapi selalu dalam hubungan dengan Allah. Nafkah harus dilihat dalam terang Allah.

b. Kerja berdimensi Kerajaan Allah. Kerajaan Allah yaitu pemberlakuan kedaulatan Allah dalam semua perkara di dunia ini melalui pekerjaan Allah maupun manusia. Kerajaan itu yang sudah, sedang dan akan datang dalam kesempurnaannya. Realisasinya secara sempurna akan terlaksana pada kedatangan Yesus Kristus yang ke dua. Menyongsong kedatangan-Nya itu orang Kristen harus aktif bekerja. Kerajaan Allah berintikan kasih dan keadilan, khususnya untuk orang-orang lemah. Ki­ta membagi berkat untuk mengasihi sesama. Lebih dari itu, orang Kristen dipanggil untuk memperjuangkan berlakunya keadilan bagi semua orang, teristimewa untuk orang-orang lemah, di mana martabat dihormati, hak dan kewajiban dilaksanakan dengan baik.

c. Kerja sebagai medan kesaksian dan pelayanan. Erat hubungannya dengan keterangan di atas, kerja merupakan "alat" kesaksian dan pelayanan. Melalui pekerjaan, tiap orang Kristen berada di garis depan pemberitaan dan pelayanan. Pokok persoalan yang terkait di sini ialah bagaimana menghubungkan iman dengan pekerjaan masing-masing dengan segala persoalannya. Di lapangan kerja itu kita akan selalu berjumpa dengan orang-orang yang memerlukan pertolongan dan siap melayani (Mat. 25:31-46). Di lapangan itu juga kehadiran dan hubungan kita dengan orang banyak dengan segala cara kita mengkomunikasikan Injil.

d. Kerja bersifat sosial. Karena mempersatukan semua orang yang berbeda-beda dari agama, keyakinan, kebangsaan, suku, kelas sosial yang beraneka ragam.

II. REFLEKSI

1. Semua Pekerjaan Yang Halal Itu Terhormat.

Tidak ada perbedaan kualitatif dari antara semua pekerjaan yang halal, baik pekerjan kasar maupun yang halus (intelektual) atau yang memerlukan keahlian. Sebutan yang terakhir itu tidak sepenuhnya benar sebab pada dasarnya semua pekerjaan memerlukan keahlian. Bertani, menjadi buruh perusahaan pun memerlukan keahlian. Ragam pekerjaan itu telah berkembang seiring dengan kemajuan iptek dan kebudayaan.

Alkitab belum mengenal pekerjaan orang sebagai petinju, penerbang, pemandu wisata, astronaut dll. Penghargaan yang berlebihan terhadap pekerjaan yang halus atau yang memerlukan keahlian tidak bersumber dari Alkitab tetapi dari kebudayaan. Yaitu kebudayaan feodal dengan mentalitas priyayi lebih menghargai yang mengajar orang supaya menjadi priyayi. Kebanyakan berupa dorongan untuk menjadi pegawai. Mentahlitas itu diturun-alihkan melalui pendidikan. Para orang tua selalu bertanya kepada anak-anak mereka "besok kalau sudah besar mau jadi apa?" Maksudnya di jajaran birokrasi. Mentalitas priyayi ini harus dikikis untuk mengembangkan profesionalisme. Pertanyaan orang tua seperti itu harus diganti dengan pertanyaan "besuk kalau besar trbisa (dapat) apa?". Pertanyaan yang terakhir ini berorientasi kepada keahhan atau ketrampilan. Kita harus menyadari bahwa modernisasi memerlu­kan profesionalisasi pekerjaan di semua bidang. Kiranya tak perlu dikatakan bahwa pekerjaan yang haram itu dosa dan tak boleh dilakukan.

2. Bekerja Sesuai Dengan Talenta/bakat Dan Kemampuan Yang Berbeda-beda.

Alkitab mengakui adanya talenta yang berbeda-beda. Talenta yaitu pemberian Tuhan secara rohani maupun material (fisik). "Tetapi kepada kita masing-masing telah dianugerahkan kasih karunia menurut ukuran pemberian Kristus" (Ef. 4:7). Perbedaan itu juga berarti perbedaan ke­mampuan. Dalam cerita tentang manna di padang gurun (Kel. 16) sudah terhliat bahwa kemampuan orang untuk mengumpulkan manna itu ber­beda-beda. Mereka yang lebih kuat mengumpulkan lebih banyak, tidak lagi menghiraukan peraturan Musa walaupun akibatnya memang sia-sia ("berulat dan berbau busuk", ay. 20). Dalam masyarakat kita meUhlihat dan mengalami perbedaan kemampuan ini. Ada orang yang bergaji dan berpenghasilan tinggi tetapi ada yang bergaji atau berpenghasilan rendah. Sering hal itu berkaitan erat dengan kuasa, kedudukan atau struktur (tatanan) masyarakat. Artinya, tidak semata-mata karena kemampuan.

Pengertian talenta atau karunia meliputi juga bakat. Dalam rangka profesionalisasi, sebaiknya seseorang bekerja sesuai dengan bakatnya. Agar benar-benar berkembang menjadi profesional. Bakat itu a.l. tampak dalam kecenderungan-kecenderungan minatnya. Perkembangan itu ti­dak akan terjadi di bawah paksaan orang-orang lain.

3. Pedoman untuk mengetahui bakat

Karena itu kita berkepentingan untuk mengetahui bakat pribadi masing-masing. Kita boleh mempertimbangkan saran Jerry & Mary White, sbb.:

Kita meminta petunjuk kepada Allah tentang bakat dan karunia yang telah diberikan-Nya dan bersyukur atas semua itu.

i. Daftarkanlah kekuatan, kelemahan dan kemampuan anda pribadi seperti yang anda ketahui selama ini. Renungkanlah bagaimana Tuhan telah memberkati anda selama ini.

ii. Mintalah dua atau tiga teman dekat dan bila mungkin atasan anda untuk mengevaluasi daftar yang telah anda buat itu dengan cerma t pokok demi pokok.

iii. Setelah jelas tentang apa saja yang anda miliki dan apa saja yang anda tidak miliki, bersyukurlah kepada Allah.

iv. Mulailah mengembangkan kekuatan dan kemampuan anda.

v. Mulailah menarik did dad tugas-tugas yang untuknya anda yakin tidak berbakat.(Pernahaman Kristiani Tentang Bekerja, hlm. 83).

Bila seseorang telah yakin tentang karunia yang harus dikembangkan mungkin untuk maksud itu tidak harus memaksakan diri masuk ke Perguruan Tinggi/Universitas. Misalnya, untuk menjadi tukang batu yang profesional, memang mungkin tidak perlu ke sana.

4. Alternatif Dalam Mencari Kerja

Persoalan ini penting dipikirkan paling sedikit sebagai arahan. Selalu ada kesulitan mendapatkan kerja idaman sebab jumlah pencari kerja dan lowongannya tidak seimbang. Telah disebutkan bahwa seharusnya kita berorientasi ke hari depan. Kita menyongsong perdagangan bebas antar negara, modernisasi Indonesia menjadi negara industri yang berbasis pertanian modern. Alternatif yang dicari harus sesuai dengan iklim perdagangan dan usaha. Wirausaha/wiraswasta, agro industri, usaha jasa, semua pantas dipertimbangkan sebagai altemrnatif itu.

4. Budaya Malas.

Dilihat dari terang amanat Tuhan supaya manusia bekerja, sikap malas itu adalah dosa. Pemalas adalah pendosa. Karena tidak produktif, tak urung mereka menjadi beban masyarakat. Banyak hal yang mendorong orang untuk menjadi malas.Misalnya, alam yang memanjakan kita. Hutan yang menyediakan berbagai kebutuhan, tanam tanaman yang ditunggu saja akan memberi hasil. Dari segi pendidikan, anak-anak tidak dibiasakan bekerja atau diberi tanggung jawab tertentu dalam urusan rumah tangga. Bahkan banyak orang tua yang memanjakan anak-anaknya. Orientasi hanya kepada hari ini, tidak ke masa depan. Semua ini sebaiknya kita sadari untuk membangun iklim kerja yang produktif.

5. Wanita Dan Pekerjaan

Perintah Tuhan supaya mengusahakan dan memelihara bumi seisinya tersebut di muka dialamatkan kepada Adam dan Hawa, laki-laki dan perempuan, sepasang suami istri yang sederajat. Dalam perkembangan kebudayaan kemudian wanita menjadi orang kelas dua di bawah pria atau disubordinasikan. Inilah yang disebut bias gender (bias=menyimpang, gender=pembedaan laki-laki dan perempuan). Tatanan masyarakat mengungkung wanita dalam pekerjaan di sektor domestik (urusan rumah tangga) seperti memasak, mencuci, mengurus rumah, meringasuh anak dll. Bagaimana hal ini berlangsung dari generasi ke generasi adalah dengan jalan:

a. Pembagian Kerja Secara Seksual.

Pembagian kerja secara seksual berarti pembagian kerja menurut kelainmin. Ada pekerjaan-pekerjaan khusus untuk wanita dan pria. Untuk wa­nita misalnya, memasak, mengasuh anak, melayani suami, menjaga kebersihan rumah, mencuci, mengurus hasil panen dll. Tugas pria misalnya, menggarap ladang, berburu, menangkap ikan, mencari kayu bakar, ronda kampung, mehlindungi isteri dan anak-anak dll. Pembagian kerja

secara ini seharusnya kita tinggalkan. Mitos bahwa wanita itu lemah sehingga tidak mampu mengerjakan pekerjaan pria tidaklah benar. Apa pun yang dapat dikerjakan oleh pria, dari kuli bangunan sampai menjadi presiden, dapat dikerjakan wanita. Masalahnya, pembagian kerja seperti itu tidak memberi kesempatan bagi wanita untuk berkiprah dalam kegiatan yang dianggap khas pria. Para wanita kepala rumah tangga, janda misalnya, membuktikan kemampuan yang sama baiknya dengan bapak-bapak.

b. Budaya Patriarkhi

Budaya patriarkhi yaitu kebudayaan yang berorientasi kepada laki-laki atau mengikuti garis ayah. Menurut budaya ini wanita adalah orang nomor dua. Budaya ini berhasil mencetak mitos tentang wanita sebagai manusia lemah (karenanya harus dilindungi), emosional, tak dapat memimpin, kurang memakai nalarnya (bodoh), tidak mandiri. Karena mitos itu dalam keluarga anak laki-laki mendapat fasilitas terbaik sebagai calon panglima, baik makanan maupun kebutuhan lainnya. Sekolah anak laki-laki harus tinggi. Sedangkan anak perempuan tak perlu seko­lah tinggi sebab akhirnya akan dibawa suami dan ke dapur juga. Budaya ini masih berlanjut sampai sekarang baik di dalam gereja maupun masyarakat melalui "serangan budaya" atau "invasi kebudayaan" terhadap wanita. Inti serangan dikemas dalam semboyan "wanita itu melayani." Serangan ini dilakukan oleh kaum pria untuk menguasai wanita. Wanita yang sering mengatakan bahwa tugasnya itu melayani adalah korban serangan itu. Serangan budaya maupun bentuk-bentuk lainnya yang menindas anak-anak perempuan harus kita tolak. Bukankah mela­yani itu tugas semua baik pria maupun wanita? Sub-ordinasi' wanita oleh pria ini menyusup ke adat istiadat, kebudayaan suku. Masih merajalelanya budaya ini diperkuat oleh penafsiran yang berat sebelah ten­tang cerita penciptaan Adam dan Hawa dan bahan-bahan lain dari Alkitab yang sebenarnya memang ditulis di bawah pengaruh budaya patri­arkhi. Wanita harus dibebaskan dan membebaskan diri dari kungkungan budaya ini supaya tampil sebagai manusia yang produktif dalam pekerjaan.

Secara lebih luas kita harus mengembangkan kemitraan pria dan wanita dalam kepemimpinan dan karya. Kemajuan pendidikan membuktikan bahwa wanita itu pintar dan sekarang sudah begitu banyak wanita yang aktif di sektor publik (di luar rumah) di semua bidang. (Termasuk politik dan ekonomi). Kualitas diri yang diperlukan ialah menjadi wanita mandiri, tegas/berani, berwawasan luas dan berpikir konseptual,, identitas yang mantap/kesadaran akan martabatnya. Kesempatan makin terbuka bagi wanita di semua lini. Segala kungkungan akan mengendur berkat globalisasi/informasi. Hukum dan perundang-undangan negara kita pun tidak diskriminatif terhadap wanita.

Yang paling pertama menentukan berhasilnya pemberdayaan wa­nita adalah wanita itu sendiri. Bukan pria. Pria hanya harus membuka jalan. Hak wanita untuk berkembang bukan pemberian pria melainkan dari Tuhan.

6. Mental Kerja.

Yang dimaksud dengan mental ialah keseluruhan isi serta kemampuan alam pikiran dan alam jiwa manusia dalam menanggapi lingkungannya (Koentjaraningrat, 1982, hlm. 26). Secara sederhana kemudian berarti sikap, alam hal ini sikap orang terhadap kerja. Tanpa pembaruan mentalnya, orang yang tidak produktif sulit diharapkan menjadi produktif. Dewasa ini iklim kerja di Indonesia sangat materailistis. Artinya, orang mengejar materi dan pekerjaan pun diukur dari materi (biaya maupun produk). Kita tidak boleh larut demikian karena gejala itu menunjukkan merosotnya sifat religius dari kerja. Gejala itu berjalan seiring dengan makin santernya gejala orang makin konsumtif dan individualistis.

Bekerja produktif tidak harus berarti menjadi materialistis. Membangun mental kerja adalah penting. Dalam hal ini sumbangan pikiran Koentjaraningrat penting didengar. Supaya kita merubah orientasi ke masa lampau menjadi orientasi ke masa depan. Perubahan ini penting untuk perencanaan yang saksama, tehti dan memaksa supaya orang berhati-hati dan berhemat. Mental lama dengan falsafah "kerja untuk makan" harus ditinggalkan. Asal cukup untuk makan, orang menjadi puas dan berhenti berprestasi. Usaha untuk maju diganjal oleh kepuasan tersebut Orientasi ke masa depan itu akan membuat orang mengejar prestasi kerja (bnd. Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, 1982, hlm. 34-37). Dari kacamata tuntutan kualitas pekerjaan seperti telah di sebutkan di muka, sumbangan pikiran dari Koentjaraningrat ini menjadi masukan yang berguna untuk membangun kerja yang produktif.

B. POKOK-POKOKDISKUSI

1. a. Apakah bekerja itu berdasarkan mau atau tidak mau, senang

atau senang? Jelaskan!

b. Pekerjaan itu bersifat religius. Apa artinya? Bagaimana pengalaman saudara tentang aspek religius ini dalam pekerjaan selama ini? Terangkan!

2. a. Mengapa bekerja itu sulit dan bersusah payah?

b. Dosa juga menyusup ke semua bidang pekerjaan. Berikanlah contoh-contoh yang saudara lihat dan alaini!

3. Apakah peranan Tuhan Yesus dalam pekerjaan manusia? Terang­kan!

4. a. Dapatkah saudara meyakini memiliki bakat apa saja?

b. Apakah pendidikan dan atau pekerjaan saudara sesuai dengan bakat saudara?

c. Bagaimana profesionalisasi pekerjaan itu dapat dilakukan?

Tidak ada komentar: