Minggu, 20 April 2008

Pertemuan 29


PANDANGAN KITA TENTANG PANCASILA

Tujuan umum 1. Katekumen memahami arti menerima Pancasila

2. Katekumen memahami arti mengamalkan Panca­sila.

Tujuan khusus 1. Katekumen mampu "menggunakan" Pancasila dalam terang iman untuk membangun wawasan dan perilaku.

2. Katekumen bersikap kritis mengenai ancaman terhadap Pancasila.

PENGANTAR

Di bawah judul ini kita membahas pokok-pokok berikut:

I. Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara

1. Mengapa kita menerima Pancasila?

2. Pengamalan Pancasila

3. Kita menyadari kelebihan dan kekurangan Pancasila"

II. GKSBS dan Pancasila

1. GKSBS menerima Pancasila

2. Konsekuensi sikap GKSBS menerima Pancasila

A. URAIAN

I. PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI DAN DASAR NEGARA

1. Mengapa kita menerima Pancasila? Rumusan Pancasila tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Kita menerimanya sebagai ideologi dan dasar negara. Ideologi ialah hasil pemikiran yang menyeluruh dan matang. Kita menerima sebab Pancasila menghargai harkat dan martbat manusia. Harkat dan martabat manusia secara lahir batin adalah aspek penting dari damai sejahtera Kristus. Pancasila dalam penyelenggaraan negara berfungsi sebagai penunjuk arah dan alat ukur praktik bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Karena kita menerima, maka kita harus memahami dan selanjutnya mengamalkan Pancasila. Kita tidak boleh meng-agama-kan Panca­sila ataupun men-Pancasila-kan agama. Pancasila bukan agama, dan agama bukan Pancasila. Usaha memahami dan menyikapi Pancasila itu sebaiknya bertitik tolak dari kerangka berpikir yang lengkap.

2. Pengamalan Pancasila

Tahap-tahap perkembangan cara berpikir dan berperilaku masyarakat adalah sbb.:

Tahap mitos. Dalam masyarakat tradisional, mitos (dongeng) mempunyai tempat sentral. Misalnya cerita wayang, pahlawan, dewa dewa, dewi Sri, tuyul, primbon dll. melekat di hati masyarakat. Pada tahap itu orang bersemboyan: "saya percaya karena itu saya mengerti".Sekarang masyarakat telah berubah. Tetapi paham cerita/dongeng ini masih melekat sebab masyarakat baru menjadi modern secara "kulit". Isi lama dengan bungkus baru. Maka di zaman modern ini masih banyak orang menangkap pencuri dengan bantuan dukun, polisi mencari helikopter yang hilang dengan bantuan paranormal dll.

Tahap logos. Perkembangan kebudayaan selanjutnya, masyarakat
meningkat dari tahap mitos ke tahap logos (logos=ilmu, logis=masuk akal) dengan semboyan: "saya mengerti, karena itu saya percaya". Pada tahap ini orang merasa harus memahami dan mampu menjelaskan dengan akal tentang apa yang dipercaya.

Tahap etos. Dari tahap logos ini manusia bertanya: "apa artinya yang saya percayai itu untuk hidup?" Sesuatu hanya bermakna atau bermanfaat bila ia berfungsi (dilaksanakan). Tahap ke tiga itu disebut etos atau sistem etika.

Ketiga cara berpikir (mitos, logos, etos) ini tetap diperlukan. Mitos menjalin ikatan pribadi bahwa apa yang dipercaya itu sungguh menjadi miliknya ("rasa handarbeni"). Ini adalah aspek psiko emosional. Logos mengembangkan aspek akali (rasio) dan etos mengembangkan aspek praktis fungsional (dalam tindak atau perilaku). Ketiga cara berpikir ini menjadi instrumen (alat) bagaimana kita memandang Pancasila.

Mitos : Bagaimana Pancasila itu menjadi milik kita (handarbeni).

Logos : Bagaimana Pancasila milik kita itu dapat kita pahami dan

uraikan/terangkan dengan akal sehat

Etos : Bagaimana Pancasila milik kita yang dapat kita pahami dan

uraikan dengan akal sehat itu kita amalkan.

Kita sekarang berada pada tahap mitos, logos dan etos sekaligus. Penghayatan tentang Pancasila sebagai mitos, logos dan etos ini akan menghasilkan akad tekad (komitmen) untuk mengamalkannya (etos). Di situ orang mengamalkan miliknya sendiri yang dapat dipahami dan dijelaskan dengan nalar. Bahan-bahan penataran P4 misalnya, berguna sebagai masukan dalam menyusun sistem etos tersebut, sebagai pedoman perilaku dalam bennasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Kerangka pikir ini pula yang telah melahirkan PNSPP (Pembangunan Nasional Sebagai Pengamalan Pancasila) sumbangan pikiran TB Simatupang melalui PGI ke MPR. KGM (Konperensi Gereja dan Masyarakat) yang diselenggarakan di Bali pada tahun 1984 telah merumuskan hubungan iman Kristen dan Pancasila. Iman dan Pancasila itu berbeda tetapi tidak bertentangan. Ada hubungan kerja (operasional), saling melengkapi antara penghayatan iman dan kesadaran berPancasila yang bersifat kreatif dan dinamis. Ketaatan iman harus menerangi ketaatan terhadap Pancasila. Iman Kristen menuntut supaya kita taat. Demikian juga Pancasila menuntut supaya kita setia kepadanya. Kedua tuntutan ini tidak perlu dipertentangkan karena satu sama lain saling mengisi secara kreatif dan dinamis.

3. Kita Menyadari Kelebihan Dan Kekurangan Pancasila

Pancasila bersifat inklusif. Artinya, Pancasila merangkul dan memayungi semua golongan masyarakat yang saling berbeda. Sejarah telah membuktikan Pancasila mampu menjadi alat pemersatu bangsa kita menjadi bangsa yang bhineka tunggal ika. Sebagai ideologi pemersatu bangsa, Pancasila adalah pilihan satu-satunya (tak ada yang lain) dan terakhir (menutup semua pilihan atau alternatif lain). Karena itu kita harus mewaspadai dan menolak ideologi lain sebagai penggantinya.

Dari sisi kebudayaan, Pancasila memberi tempat seluas-luasnya bagi pengembangan budaya suku dan daerah dalam rangka pembentukan kebudayaan nasional. Perbedaan-perbedaan yang melekat pada kemajemukan dihadapi dengan sikap luwes dan tenggang rasa di bawah payung Pancasila. Dengan demikian Pancasila mampu mencegah per­pecahan (disintegrasi) bangsa. Ancaman perpecahan dapat timbul tidak karena Pancasila melainkan karena ketidak adilan dan tidak meratanya pembangunan nasional. Misalnya kalau ada daerah yang terabaikan atau hanya dikuras sumber daya alamnya.

Pancasila juga mengangkat semua orang dan golongan ke derajat yang sama, tidak ada minoritas dan mayoritas. Kita menyongsong modernisasi di segala bidang melalui pembangunan. Di sisi lain, globalisasi akan mengakibatkan masuknya pengaruh kebudayaan asing secara intensif (mendalam) dan ekstensif (meluas). Dalam hal ini Pancasila terasa kekurangannya. Tetapi Pancasila memberikan peluang bagi kreativitas untuk menciptakan kombinasi-kombinasi antara budaya bangsa dengan nilai-nilai modern. Sering ada yang mengatakan bahwa Pancasi­la itu kabur dan bagaikan gelas kosong saja yang siap untuk diisi. Gambaran seperti itu justru menunjukkan kelebihan Pancasila dan keterbukaannya sebagai idiologi.

Kita perlu mengetahui bahwa perjuangan sebagian umat Islam un­tuk menjadikan Islam menjadi dasar negara atau negara ini menjadi Islami tetap ada. Perjuangan itu melalui MPR. Namun Sidang Tahunan MPR 2000 gagal untuk memasukkan anak kalimat "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dari Piagam Ja­karta ke pasal 29 UUD 1945. FAPI (Forum Alliansi Partai-Partai Islam) dari 11 partai politik menyayangkan kegagalan itu. Catatan ini menyadarkan kita untuk mewaspadai perjuangan itu.

II. GKSBS DAN PANCASILA

1. GKSBS Menerima Pancasila

Artinya, Sinode GKSBS menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Disebutkan: "Dalam terang pengakuan seperti tercantum dalam Pasal 3 Ayat 1, GKSBS berasaskan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, ber­bangsa dan bernegara" (Tata Gereja pasal 5). Pasal 3 Ayat 1 yang dimaksud berbunyi: "GKSBS mengaku, bahwa Yesus Kristus, yaitu Tuhan dan Juruselamat dunia, Sumber Kebenaran dan Hidup adalah Kepala Gereja (Kol. 1:18a); "Karena tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain daripada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus" (1 Kor. 3:11).

Tentang pasal ini tidak ada penjelasan kecuali disebutkan "Cukup jelas". Sebenarnya hal ini perlu penjelasan shigkat sebab menyangkut kaitan dengan iman Kristen. Secara kronologis (urutan waktu), masalah keharusan mencantumkan menerima Pancasila itu timbul karena berlakunya UU RI No.8 tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan yang diundangkan pada tanggal 17 Juni 1985. Menurut UU tersebut organisasi agama digolongkan sebagai organisasi kemasyarakatan (Bab I, Pasal 1). Organisasi Kemasyarakatan berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Bab II, Pasal 2).

Pergumulan gereja-gereja mengenai pokok ini terjadi sejak usaha pemasyarakatan pemerintah sesudah sidang MPR 1983 untuk menyusun RUU yang akan diajukan ke DPR. Gereja sebagai umat Allah yang mengaku Yesus Kristus sebagai dasarnya, diperhadapkan dengan pertanyaan: bila menyatakan menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas, tidakkah pernyataan seperti itu bertentangan dengan iman Kristen? Penggunaan istilah "asas tunggal" yang mengesankan bahwa Pancasila adalah segala-galanya memang dihindari. Dengan istilah "satu-satunya asas" tidak mencakup segala-galanya tetapi hanya mencakup kehidup­an bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kebebasan beragama harus tetap dijamin dalam negara Pancasila.

Pergumulan ini terselesaikan dalam SR X DGI di Ambon, 21-31 Oktober 1984. Dalam Tata Dasar PGI hasil SR tersebut (pasal 3) dicantumkan bahwa Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat, sesuai dengan Firman Allah dalam Alkitab (PL dan PB) itulah yang menjadi dasar bagi gereja-gereja (Mat.l6:18, 1 Kor. 3:11). Sehubungan dengan Pancasila, bab III pasal 5 hasil SR PGI mengatakan: "Dalam terang dasar seperti tercantum pada Pasal 3 di atas, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia sepenuhnya ikut bertanggung jawab dalam usaha bangsa untuk menghayati, mengamalkan dan melestarikan Pancasila sebagai satu-satunya azas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara". Pasal 5 Tata Gereja GKSBS itu tidak boleh dilepaskan dari pasal 3 ayat 1 tersebut di atas. Dengan demikian jelas bahwa pengakuan itu tidak bertentangan dengan iman.

2. Konsekuensi Dari Sikap GKSBS Menerima Pancasila

Perlu menjemaatkan Pancasila agar jemaat benar-benar memiliki "rasa handarbeni", dapat memahami dan mengamalkannya. Aneka cara dapat ditempuh. Misalnya dengan mengintegrasikannya dengan bahan-bahan Pekan, bahan-bahan pembinaan dll. sambil terus menjaga agar jangan mengagamakan Pancasila dan memPancasilakan agama.

UUD 1945, sebagai pedoman operasional Pancasila sebagai ideologi telah berubah dan akan berubah melalui keputusan MPR. Dari sudut pandang kristiani, Pembukaan UUD 1945 dan pasal 29 UUD 1945 merupakan rumusan final. Artinya tidak perlu diubah. Sikap itu hendaknya dinyatakan. GKSBS dapat menyatakan sikap itu secara langsung ke MPR, dapat melalui PGI atau cara lain.

Kita memahami bahwa Pancasila dan UUD 1945 adalah satu kesatuan yang utuh. Berdasarkan Pancasila, UUD 1945 menjaininmenjamin kebebasan beragama. Penerimaan itu mendorong GKSBS untuk membela kebebasan beragama dari segala rongrongan, termasuk rongrongan me­lalui berbagai peraturan.

Uraian ini perlu diakhiri dengan peringatan bahwa Pancasila itu bukan jimat atau mantra yang membuat situasi rukun damai. Tidak! Secara sadar kita harus terus menegakkan atau memfungsikan bersama-sama dengan semua golongan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

B. POKOK-POKOK DISKUSI

1. Apakah perbedaan antara menerima dan mengamalkan Pancasila?

2. Hukum Tuhan: "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (Mat.22:39).

Sila ke-2 Pancasila: "Kemanusiaan yang adil dan beradab".
Kasus: Teman Saudara terpaksa berhenti sekolah sebab tidak kuat

membayar biayanya.

Pertanyaan: Bagaimana cara kerja mengamalkan Pancasila dalam

situasi teman Saudara itu dengan mengingat hukum

Tuhan dan sila ke-2 tersebut ?

3. Firman Tuhan: "Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah" (Luk.9:62). Pasal 29 ayat (2) UUD 1945: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dankepercayaannyaitu".
Kasus : Pak Dadap ingin memeluk agama Kristen. Keluarga dan

lingkungannya yang bukan Kristen

menghambat maksud tersebut

Pertanyaan: Bagaimana mengamalkan Pancasila dalam kasus ini?

Tidak ada komentar: