Minggu, 20 April 2008

PENDAHULUAN


PENGANTAR

Dalam pendahuluan ini kita memperhatikan beberapa hal penting yang mewarnai seluruh isi buku ini. Pertama, tentang konteks dunia di mana gereja berada; Kedua, Simbol gereja; Ketiga, tentang tujuan katekisasi dan pendekatannya; Keempat, tentang sistematika dan metode.

KONTEKS DUNIA/MASYARAKAT TEM

PENDAHULUAN

PENGANTAR

Dalam pendahuluan ini kita memperhatikan beberapa hal penting yang mewarnai seluruh isi buku ini. Pertama, tentang konteks dunia di mana gereja berada; Kedua, Simbol gereja; Ketiga, tentang tujuan katekisasi dan pendekatannya; Keempat, tentang sistematika dan metode.

I. KONTEKS DUNIA/MASYARAKATTEMPAT GEREJA BERADA

Tuhan menempatkan jemaat GKSBS dalam konteks (hubungan-hubungan) yang bersifat dinamis. Konteks tersebut adalah sbb:

1. Secara nasional, Indonesia mengalami perabahan besar karena pembangunan dan modernisasi, globalisasi dan revolusi komunikasi / informasi. Gaya hidup manusia Indonesia pun sudah berubah. Kebanyakan orang sudah menjadi materialistis, konsumeristis dan individualistis. Budaya kekerasan telah merajalela, dipicu oleh krisis multidimensi.

2. Daerah Sumbagsel juga telah mengalami perubahan penting kare­na hadirnya bermacam-macam industri. Perusakan lingkungan hi­dup, pencemaran limbah terjadi di mana-mana.

3. Di bidang pemerintahan, pemberlakuan otonomi daerah juga sudah berjalan di empat provinsi di mana GKSBS hidup dan melayani, yaitu Lampung, Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu.

4. Dari sisi masyarakatnya, daerah Sumbagsel dihuni oleh masyarakat majemuk, terdiri dari multi suku, agama serta kebudayaan.

Tidaklah cukup apabila kita hanya memperhatikan kenyataan "hal ini". Kita juga harus memperhatikan masa depan. Perubahan masyarakat yang telah terjadi ini akan makin meluas dan mendalam karena makin derasnya globalisasi, komunikasi dan informasi. Tahun 2003 kita sudah harus "selamat datang" kepada era perdagangan bebas antar negara ASEAN. Kelak, pada tahun 2020 "selamat datang" perdagangan bebas antar negara Asia Pasifik. Perdagangan bebas bukanlah hanya persoalan dagang tetapi juga persoalan kebudayaan. Artinya, mulai tahun-tahun tersebut kebudayaan asing dengan derasnya membanjiri Indonesia. Dunia kita akan menjadi pasar dan medan persaingan. "Revolusi" itu mengubah dunia kita menjadi sebuah "kampung".

Situasi ini perlu kita sadari sebab gereja memang tercipta untuk masyarakat dan bangsa-bangsa. Misi gereja pun terarah ke masyarakat dan bangsa-bangsa. Dalam masyarakat itulah kita menjadi Kristen dan gereja menjadi gereja Prinsip ini telah dirumuskan secara sinodal dalam tema "Menjadi Gereja Yang Memasyarakat." Perubahan itu pasti mempengaruhi gereja-gereja dan kehidupan warganya.

Maka katekisasi diharapkan menjadi salah satu pelayanan gereja untuk memperlengkapi warga dan/atau calon warganya untuk bertumbuh mengejar kedewasaan iman mereka.

II. SIMBOL GEREJA

Kita perlu merumuskan simbol gereja-gereja GKSBS. Simbol adalah tanda atau lambang yang mengungkapkan keyakinan, pengakuan, pergumulan dan semangat untuk hidup. Pancasila atau burung garuda, misalnya. Bila kita memandang atau mengucapkannya, hati kita bangga sebagai orang Indonesia, kita diingatkan untuk menjadi anak bangsa yang baik, kita disemangati untuk berjuang menegakkan Pancasila, kita diingatkan untuk memperingatkan segala perilaku yang merusak kerukunan yang tidak sesuai isi dan semangat Pancasila. Bagaimana tentang simbol gereja? Simbol gereja ialah gambaran dari identitas (jati diri) gereja yang dirumuskan. Ia memuat pergumulan, keyakinan, pengaku­an, harapan dan semangat hidup.

Perumusan simbol itu dengan mempertimbangkan pengalaman gereja dalam konteks, sejarah pertumbuhannya serta tantangan ke depan. Manakala simbol itu dipajang, direnungkan, dibaca, ia menyemangati kita dalam perjalanan di dunia ini. Jadi, simbol gereja maupun simbol lainnya, bersifat dinamis. Ia bukan sesuatu yang baku. Kita harus menjaga agar simbol tidak menjadi sekedar slogan atau semboyan kosong. Dalam katekisasi, simbol gereja itu membingkai seluruh isi, proses dan metodenya.

Pertimbangan-pertimbangan Untuk Merumuskan Simbol GKSBS

1. Sejarah Pertumbuhan GKSBS

Tentang sejarah singkat GKSBS, sebagai salah satu pertimbangan perumusan simbol gereja, dapat kita cermati dalam Pertemuan 16. Cikal bakal (embrio) jemaat GKSBS adalah para kolonis pada zaman kolonial dan trasmigran Kristen yang tersebar di daerah Lampung maupun Sumbagsel mulai tahun 1905. Pusat pertama di daerah kolonisasi itu ialah Gedong Tataan di Lampung. Dari pusat ini trasmigran menyebar ke daerah-daerah sekitarnya seperti Pringsewu, Ambarawa dan Wonosobo, Sukoharjo. Menyusul kemudian Sukadana sebagai pusat yang baru. Dari pusat ini trasmigran menyebar ke Metro, Trimurjo, Batanghari, Sribawono. Daerah-daerah trasmigran dengan pusat Sukadana ini kemudian jauh lebih maju daripada sebaran dari pusat Gedong Tataan sebab dibukanya irigasi sungai Way Sekampung (Tegineneng) pada ta­hun 1935. Pengiriman trasmigran ini kemudian diarahkan ke daerah Belitang, Lubuk Linggau dan Bengkulu. Di antara trasmigran itu terdapat orang-orang Kristen yang jumlahnya sedikit dan lokasinya tersebar.

Para trasmigran terdiri dari orang-orang yang sederhana. Mereka saling mencari dan berhimpun. Tidak ada orang yang mengajar mereka tentang bagaimana menjadi orang Kristen di tempat yang baru itu. Mereka hidup di tengah masyarakat yang beragam agama dan suku, bersuasana rukun dan solider dalam suka duka kehidupan. Obsesi mereka ialah mewujudkan hidup baru dalam Kristus, menjadi teladan sehingga menarik masyarakat untuk mengenal Tuhan.

Ketika timbul para simpatisan yang belajar agama Kristen. Para trasmigran dengan seadanya dan spontan mengajar agama Kristen. Kekurangan mereka tidak menjadi hambatan dalam melayani. Bukankah pengajaran yang pahling ampuh adalah kelakuan Kristiani dalam masyarakat? Perkembangan itu tentu berkat pekerjaan Roh Kudus. Ketika di pulau Jawa mereka hanya orang Kristen yang biasa-biasa saja, namun di sini mereka menjadi Kristen yang aktif. Tentang hal ini ada orang yang menggambarkan dengan ilustrasi wayang. Di Jawa mereka menjadi "wayang pinggir", namun di Sumbagsel mereka menjadi "wa­yang tengah". Wayang pinggir itu dalam pentas wayang jarang dipakai, sedangkan wayang tengah selalu dipakai.

Sinode GKJS dalam sidangnya di Magelang pada tahun 1935 baru mengambil keputusan untuk memberitakan Injil di Lingkungan trasmigran di Lampung. Sampai tahun 1938 Tim GKJS mondar-mandir un­tuk menjajagi kemungkinan pemberitaan itu. Secara berangsur-angsur terbentuklah kelompok-kelompok orang Kristen Jawa dan kemudian jemaat. Walaupun jauh kemudian ada gereja, tetapi karena kekurangan jumlah Pendeta, para katekis yang tempatnya terpencar-pencar itu tidak mendapatkan bimbingan. Keadaan seperti itu masih berlanjut terus sesudah berdirinya GKSBS. Banyaknya kelompok DPB (Daerah Pertumbuhan Baru) membuktikan bahwa keberadaan para trasmigran Kristen itu yang selalu menjadi awal pertumbuhan gereja. Gereja-gereja dan Sinode baru hadir kemudian sesudah terhimpunnya sejumlah orang Kristen.Pertumbuhan gereja dimototori oleh warga.

Tentang isi pelajaran katekisasi? Ternyata kehidupan sosial ekonomi yang serba susah dan perjuangan mengejar kehidupan yang lebih baik telah mendorong katekisasi tidak hanya mengajarkan iman yang rohani melainkan juga tentang kehidupan jasmani. Dua hal ini bersifat dwitunggal, disebut "iman dan uman". (kata "uman", bahasa Jawa, berarti sandang pangan / rezeki, kebutuhan jasmani dan berbagi).

Dari uraian di atas dapat kita "kantongi" beberapa pokok penting sebagai pertimbangan untuk merumuskan simbol gereja, sbb:

a. Trasmigran yang Kristen itu berusaha memelihara identitas mereka sebagai orang Kristen maupun komunitas Kristen.

b. Sebagaimana diketahui, para trasmigran itu berasal dari berbagai gereja di Jawa. Dilihat dari segi gereja asal, batas satu sama lain ber­sifat lentur atau cair. Mereka tidak saling bersikukuh tentang tata gereja, pengajaran dan kebiasaan gereja asal mereka. Mereka menyadari satu iman di dalam Kristus Tuhan dan siap hidup bersama dalam situasi yang baru. Iman kepada Kristus ini menyingkirkan segala perbedaan dan mendorong untuk berteologia bersama.

c. Dinamika kehidupan para trasmigran:

i. Mereka berbaur dengan masyarakat majemuk yang beragam suku dan agama, semua golongan rukun dan solider (senasib sepenanggungan) satu sama lain.

ii. Mereka saling mencari dan berhimpun menjadi kelompok-kelompok kecil itu dan kemudian berkembang.

iii. Mereka berteologi dan berkegiatan gerejawi sendiri. "Teologi" dari kata "theos" dan "logia", artinya "perkataan-perkataan manusia tentang Allah". Teologi merupakan usaha manusia untuk berbicara tentang Allah, untuk memahami dan memberlakukan kehendak Allah dalam konteks (masyarakat majemuk, kondisi suka duka trasmigran, daerah baru dll.). Berteologi selalu terjadi dalam konteks. Munculnya paham tentang iman dan uman, hidup baru dalam masyarakat, memberitakan Injil, rukun de­ngan masyarakat majemuk mereka, semua itu terjadi berkat penghayatan iman terhadap Tuhan yang hidup dalam konteks mereka. Sebelum masuknya misi GKJS, tidak ada tempat bertanya bagi mereka. Mereka sendirilah yang memikirkan dan bertindak menghadapi situasi mereka. Pihak gereja lebih berperan sebagai gembala dan pembina .

iv. Tentang katekisasi. Telah disebutkan bahwa sebagai orang awam, trasmigran juga melayani katekisasi, tidak bergantung kepada pihak lain. Dalam katekisasi dibahas iman (rohani) dan uman (jasmani). Ini berarti pengajaran itu menghargai kehi­dupan sekarang, menyemangati perjuangan mengejar kehidup­an yang sejahtera sesuai dengan tujuan mereka bertransmigrasi hendak mengejar kehidupan yang lebih baik.

v. Dalam hal pekabaran Injil, sangat ditekankan kesaksian melalui hidup baru (gaya hidup exemplaris). Ini berarti selalu memahami dan menghayati bagaimana bermasyarakat, bagaimana menjadi alat Tuhan dalam pekerjaan-Nya.

2. Pertimbangan Lainnya

Asas, tujuan, visi dan kemandirian gereja. Gereja dan warganya terpanggil untuk membuka diri. "... dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat" (Kej. 12:3). Panggilan Allah kepada Abra­ham ini, supaya menjadi berkat bagi bangsa-bangsa, juga berlaku bagi kita. Panggilan itu menuntut supaya kita bersikap terbuka. Perkembangan masyarakat dan bangsa mengingatkan pentingnya keterbukaan itu. Tuntutan ini menjiwai cita-cita kemandirian menjadi sinode GKSBS dan dirumuskan: menjadi "Gereja Daerah", yaitu gereja yang terbuka untuk semua orang di daerah Sumbagsel sebagai wilayah kesaksian dan pelayanan.

Kesadaran ini tetap dipegang teguh oleh Sinode GKSBS seperti dinyatakan dalam pasal 5 Tata Gereja (Tager) tentang asas, bahwa "... Gereja-gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan menyatakan menerima Pancasila sebagai asas bermasyarakat, berbangsa dan bernegara."

Demikian juga pasal 5 Tager tentang tujuan: 'Tujuan GKSBS adalah ikut mengerjakan misi Allah dengan mewujudkan persekutuan serta melaksanakan tugas kesaksian dan pelayanan demi kebenaran, keadilan dan kasih". Kita tetap setia memelihara nilai-nilai teologis sejak pra (sebelum) GKSBS ini. Termasuk rumusan visi GKBS "Menjadi gereja yang memasyarakat" dan penjelasannya.

Konteks dunia/masyarakat tempat gereja berada (lihat I tersebut di atas). Bahwa gereja kita adalah bagian dari gereja yang esa, am/rasuli. Kita terpanggil untuk berpartisipasi dalam mewujudkan keesaan di semua tingkatan.

3. Kesimpulan

Dengan mempertimbangkan nilai-nilai dari sejarah pertumbuhan masa lampau dan panggilan serta tantangan masa depan seperti uraian di butir 1 dan 2 tersebut di atas, kita dapat merumuskan simbol dan motto GKSBS, sbb.:

Simbol:

GEREJA WARGA YANG MEMASYARAKAT,

KUDUS DAN AM

Motto:

MENJADI KAYA DALAM KEBAJIKAN,

SUKA MEMBERI DAN MEMBAGI

1 Timotius 6:18b

Penjelasan:

a. "Gereja warga" berarti gereja terbentuk oleh warga awam. Di dalam gereja itu warga awam membangun teologinya sendiri, menyadari kehadiran dan karya Tuhan dalam dunia mereka.

b. Warga gereja tersebut menyadari diri sebagai bagian dari masyarakat, menyadari perkembangan, berkehidupan yang memasyarakat sambil menjaga jati diri mereka.

c. "Kudus" berarti mengakui bahwa keberadaan, perkembangan dan perilaku bergerejanya terjadi di dalam pimpinan dan pengudusan oleh Roh Kudus.

d. "Am" berarti mengakui bahwa sebagai gereja Tuhan adalah bagian dari gereja yang esa, dan rasuli atau am (am=umum=katolik).

e. Motto atau semboyan diperlukan untuk pedoman dan sumber inspirasi bagi semua warga untuk mengejawantahkan simbol gereja.

Katekisasi harus berusaha untuk mengaktualisasikan simbol terse­but melalui materi dan seluruh proses kateketis. Artinya:

i. Katekumen menjadi Kristen yang mengejar kedewasaan masing-masing dengan kekristenan yang memasyarakat (ke luar), berpartisipasi aktif dalam kegiatan dan masalah internal gereja (ke dalam).

ii. Katekumen menyadari panggilannya untuk mewujudkan kehidupan sejahtera lahir-batin secara seimbang,

iii. Katekumen menyadari dirinya sebagai anggota umat yang rasuli.

III. KEBUTUHAN KITA:

KATEKISASI YANG RELEVAN DAN KONTEKSTUAL

Kita membutuhkan buku katekisasi yang relevan dan kontekstual (dari "konteks" berarti "hubungan"). "Relevan" berarti sesuai dengan perkembangan zaman. "Kontekstual" berarti sesuai dengan situasi dan masalah-masalah dalam kehidupan masyarakat majemuk, perkembangan wilayah, keberadaan agama-agama dan kehidupan beragama, sosial ekonomi dll. Pengertian relevan dan kontekstual ini dapat dijelaskan dari sudut pandang bagaimana firman Tuhan dinyatakan kepada kita. Alamat pertama dari firman ialah bangsa Israel. Alamat kedua ialah kita dan bangsa-bangsa lainnya. Selanjutnya kepada segala bangsa lainnya, termasuk kita.

Firman Tuhan tidak datang kepada kita secara "telanjang" melainkan dengan "bungkus" atau "pakaian" yang berlapis-lapis. Bungkus berlapis-lapis itu a.l. kebudayaan Israel, Romawi dan Yunani. Bagi kita da­lam menerima Injil bungkus itu masih ditambah lagi dengan kebudayaan Barat melalui para zendeling (pekabar Injil) Barat (Belanda dll.). Para penulis Alkitab adalah manusia biasa. Mereka adalah anak bangsa dan kebudayaan masing-masing. Mereka menyampaikan firman Tuhan dengan cara dan bentuk yang sesuai dengan kebudayaan mereka agar dapat dipahami oleh umat waktu itu. Seperti halnya seorang bapak atau ibu berbicara kepada anak kecil mereka tentu harus menyesuaikan diri dengan "dunia" anak mereka. Jadi, firman itu selalu relevan dan kon­tekstual bagi setiap perkembangan konteks.

Kini, kita mendengar firman Tuhan itu dalam "pakaian" yang ber­lapis-lapis. Kita harus mengupas bungkusnya, seperti mengupas bawang, untuk mengerti inti beritanya. Usaha itu adalah usaha menafsirkan. Pada gilirannya, kita pun mengungkapkan firman itu dengan cara dan bentuk yang sesuai dengan perkembangan situasi dan hubungan-hubungan kita sebagai orang Indonesia dan warga masyarakat di Sumbagsel ini. Dengan cara demikian tercapailah yang disebut kontekstual dan relevan.

Kontekstualisasi Firman tersebut juga berhubungan dengan pempribumian. "Pempribumian" berarti "menjadikan milik pribumi". Pempribumian berhubungan dengan kebudayaan. Dalam buku ini pempribumian dipandang sebagai salah satu aspek kontekstualisasi. Kontekstualisasi mempunyai arti lebih luas. Karena "bangunan" kepribadian kita ini terbentuk dari nilai-nilai kebudayaan sejak zaman lampau maka sering usaha pempribumian itu disebut "menoleh ke belakang". Bagi Israel sendiri, firman Tuhan itu mereka terima dalam bungkns kebu­dayaan zaman mereka. Misalnya, kita membaca Im. 2:13: "... janganlah kau lalaikan garam perjanjian Allahmu dari korban sajianmu, beserta segala persembahanmu haruslah kau persembahkan garam". Mengapa dalam ayat ini garam dihubungkan dengan perjanjian dan persembahan? "Bungkus" pada ayat ini ialah kebudayaan bangsa-bangsa di sekitar Israel yang mempengaruhi mereka. Waktu itu garam adalah lambang kesetiaan. Inti berita ayat itu ialah supaya Israel setia kepada Allah sebagai patner perjanjian-Nya. Ayat ini di telinga kita terdengar aneh, tetapi bagi orang-orang Israel waktu itu mereka segera mengerti inti berita ayat itu dengan jelas.

Kita membaca ayat ini dengan mencari maknanya dalam konteks kebudayaan, ekonomi, masyarakat majemuk, agama-agama, politik, krisis etik moral, kelesuan/ketidak mandirian gereja-gereja dengan memohon bimbingan Roh Kudus. Misalnya, inti berita ayat itu adalah pesan agar kita menjadi jemaat yang bersaksi dan melayani masyarakat kini dan di sini dengan setia. Dengan singkat, relevan dan kontekstual berarti sesuai dengan situasi dan konteks "kini dan di sini".

Berdasarkan uraian tersebut di atas, katekisasi yang relevan dan kontekstual dapat dirumuskan sbb:

Katekisasi yang relevan dan kontekstual ialah katekisasi yang dengan benar menangkap pesan firman Tuhan sebagaimana disaksikan oleh Alkitab untuk membangun kehidupan jemaat sesuai dengan perkembangan zaman dan konteks ke-Indonesia-an kita, kini dan di sini.

Katekisasi di sini dipahami sebagai salah satu bidang pembangunan jemaat di samping khotbah, liturgi, penggembalaan, diakonia, pekabaran Injil dan pembinaan warga. Katekisasi tidak dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, lepas dari yang lain. Semua itu merupakan tugas hakiki dari gereja, saling berhubungan dan saling mempengaruhi.

Konsekuen dengan rumusan tersebut, sedikitnya kita harus memperhatikan hal-hal berikut ini dalam melayani katekisasi:

1. Globalisasi Dan Pengaruhnya

Globalisasi, revolusi informasi dan komunikasi yang dimotori ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sekarang bagaikan air bah membanjiri Indonesia. Globalisasi bagaikan air yang merembes ke dalam semua bidang kehidupan. Pengaruh globalisasi itu memicu perubahan-perubah­an yang makin luas dan intensif (mendalam). Sadarkah kita bahwa TV dan internet sedang merubah dunia ini menjadi sebuah kampung raksasa? Sadarkah kita bahwa dunia ini sedang berubah menjadi pasar (melalui reklame TV dll.)? Sadarkah kita bahwa jaringan narkotik/narkoba internasional akan melumpuhkan generasi kita?

Teknologi adalah kawan sekaligus lawan, berkat sekaligus ancaman bencana. Kebudayaan hari esok adalah kebudayaan global. Saling ketergantungan antar bangsa makin kuat, menuju "runtuhnya negara bangsa". Kita sedang dalam proses masuk ke masyarakat global itu di bawah panglima iptek dan ekonomi sebagai dewa-dewa baru, yang seolah-olah tidak ada kekuatan yang mampu mengendalikannya. Di tengah malang melintangnya perubahan-perubahan besar itulah jemaat dan masyarakat Sumbagsel kini berada dan harus membuka diri.

Katekisasi yang relevan dan kontekstual harus menyadari perubahan masyarakat yang dinamis ini. Katekisasi tidak cukup hanya memperhatikan "hari ini". Karena bila demikian kita terancam frustasi di tengah masyarakat global ini. Simbol GKSBS sudah mengingatkan pentingnya wawasan ke depan itu. Kesadaran akan perubahan itu adalah target awal dari katekisasi modern. Sebagaimana modernisasi industrialisasi di negara-negara Barat didorong oleh iman Kristen (perintah Tuhan "... penuhilah bumi dan taklukanlah itu ... Kej. 1:28), demikian juga kate­kisasi sebagai media penggemblengan iman harus menyiapkan manusia Kristen untuk hari esok. Katekisasi terpanggil menolong bagaimana katekumen (murid katekisasi) mampu memberlakukan prinsip "berfikir global, bertindak lokal" di abad 21 ini.

2. Kemajemukan

Jemaat Kristen hidup di tengah masyarakat majemuk (Bhineka Tunggal Ika). Katekisasi tidak boleh seolah-olah terjadi ruang kosong. Hidup bersama dengan orang lain berarti kesediaan bergaul dan bekerja sama dengan orang lain demi kesejahteraan bersama Kita menyadari bahwa dunia ini lebih dahulu ada baru kemudian gereja ada. Maka keberadaan je­maat kita adalah untuk masyarakat kita yang majemuk. Dalam masyarakat itu pula karya pembebasan Roh Kudus berlangsung.

Ini berarti katekisasi harus berusaha membantu warga dan calon warga jemaat untuk mengembangkan hubungan dan kerjasama dengan umat beragama lain. Konteks agama-agama ini haras menjadi perhatian cukup dalam katekisasi. Dalam hidup bersama-sama dengan umat beragama lain itu pula kita harus memainkan fungsi kritis terhadap perkembangan situasi. Kesadaraan akan kemajemukan ini mengingatkan bahwa setiap warga gereja hendaknya tumbuh berkembang menjadi insan yang pluralis (berwawasan dan berperilaku sebagai bagian dari masyarakat majemuk). Karena itu katekisasi terpanggil untuk mem­perkuat persatuan dan kesatuan bangsa, membantu katekumen menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab, dialogis dan kooperatif.

1. Itulah salah satu sumbangan bermakna gereja untuk menjawab tantangan situasi di mana wawasan kebangsaan yang menjadi perekat per­satuan dan kesatuan bangsa kini memudar dan terkikis. Dalam perjalanan selama ini telah terbukti bahwa agama tidak mampu memperkuat pembangunan kesatuan dan persatuan bangsa. Bahkan agama sering menjadi kuda tunggangan politik penguasa. Itu merendahkan martabat agama. Perjalanan bangsa kita juga mencatat bahwa agama ternyata potensial menjadi sumber konflik. Maka pengenalan agama-agama lain dalam katekisasi diperlukan. Termasuk pula pengenalan agama-agama etnis Tionghoa, dengan terbitnya Kepres No. 6 Tahun 2000 tanggal 17 Januari 2000 yang mencabut Inpres No.14 Tahun 1967 (Suara Pembaruan, 18 Februari 2000) Mereka adalah bagian masyarakat majemuk Indonesia.

3. Kemiskinan/Ketidakadilan

Pembangunan industri di daerah sedang merubah masyarakat Sumbagsel yang agraris menuju masyarakat industri. Kemajuan sektor industri tidak selalu diikuti meningkatnya kesejahteraan masyarakat, tetapi pem­bangunan tersebut selalu diiringi proses marginalisasi (=terdesak ke pinggir) sebagian masyarakat. Masalah kemiskinan, pemiskinan dan ketidakadilan terjadi di mana-mana.

Situasi ini tidak sesuai dengan "damai sejahtera" [syalom] Kristus di bumi Indonesia. "Dosa" dari kebanyakan pelaksanaan katekisasi selama ini ialah mengabaikan sisi ekonomi dari kehidupan manusia, menginspirasi dan menggerakkan umat untuk mewujudkan damai sejahtera itu. Para pelaku ekonomi yang Kristen di lapisan menengah dan atas sekarang ini kebanyakan tumbuh tanpa inspirasi dari katekisasi. "Dosa" itu harus kita ingat dalam penyelenggaraan katekisasi.

4. Kesadaran Tentang Krisis Etik Moral Bangsa

Reformasi di segala bidang kehidupan kini masih berjalan. Tetapi perjalanan bangsa sejauh ini telah membuktikan betapa krisis etik moral telah melanda masyarakat dan bangsa. Budaya kekerasan yang sebenarnya "barang" asing tetapi ternyata telah berkembang di mana-mana. Perusakan, kerusuhan, pembakaran, pembunuhan terjadi di mana-mana. Di wilayah Sumbagsel titik rawan pertama adalah masalah pertanahan dan kedua ialah fanatisme agama, keduanya dengan varian-varian masing-masing. Katekisasi harus ikut serta meletakkan landasan pembangunan etik moral masyarakat.

5. Tentang Gereja-gereja Dan Gerakan Oikumene

Di samping masyarakat, gereja-gereja di Indonesia dan di wilayah Sum­bagsel juga bersifat majemuk. Banyaknya gereja yang hadir di wilayah ini dan lesunya gerakan oikumene sering menimbulkan masalah, yaitu "persaingan bergereja yang tidak sehat". Praktik pencurian domba terja­di di mana-mana. Kerukunan umat Kristen dipertanyakan masyarakat Indonesia. Mengapa umat Kristen tidak rukun? Maka katekisasi seharusnya juga membantu katekumen untuk mengenal dan menyikapi aliran-aliran Kristen dan gerakan oikumene (termasuk juga gerakan oiku­mene lokal).

6. Kedewasaan Kristen

Katekisasi dimaksudkan untuk menolong pertumbuhan katekumen menuju kepada kedewasaan mereka. Kedewasaan itu terjadi dalam dua "cara" secara serentak, yaitu menjadi warga gereja sekaligus menjadi warga masyarakat yang bertanggungjawab. Ini bukan soal pilihan. Ke­duanya seharusnya berkembang selaras. Mustahil seorang Kristen men­jadi dewasa bila ia dan gerejanya tertutup/menutup diri. Dalam kenyataannya, kebanyakan gereja berorientasi kepada diri sendiri atau tertutup (introvert).

7. Mensubjekkan Katekumen

Sejak awal katekumen hendaknya diperlakukan dan dihargai sebagai subjek (bahasa Jawa: di-uwong-ke). Mereka tidak boleh dianggap sebagai anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Katekis seharusnya suka mendengar, menghargai pendapat dan pribadi mereka. Selanjutnya katekis perlu mengaktifkan mereka untuk berpikir, menghayati pokok-pokok iman, membaca situasi, berinisiatif memecahkan masalah dll. Mereka bukan obyek yang melulu harus diajar. Karena itu diskusi, sharing pengalaman iman merupakan cara yang sangat menolong pertumbuhan mereka. Dengan cara itu mereka merasa dihargai.

Pendekatan ini menuntut katekis supaya kreatif mendampingi katekumen. Dengan cara ini diharapkan katekisasi menjadi sumbangan bagi pembentukkan SDM Kristen yang tumbuh secara utuh. Bila ada praanggapan bahwa katekumen itu sedang belajar dan karenanya di­anggap tidak mampu berbuat apa pun, anggapan itu mungkin berasal dari katekisasi di zaman kolonial dan harus kita buang. Bila ada pra ang­gapan demikian, katekumen akan menjadi pasif dalam masa katekisasi dan seterusnya sesudah mereka sidi. Pengalaman membuktikan betapa sulitnya gereja mengaktifkan orang-orang yang terlanjur pasif. Itu terlalu mahal. Katekisasi menjadi kesempatan indah dan menarik untuk tumbuh berkembang bersama dengan belajar kepada Yesus, Sang Guru Sejati.

8. Katekis Sebagai Fasilitator

Konsekuen dengan mensubyekkan katekumen, katekis hendaknya men­jadi fasilitator. Katekis tidak bertindak sebagai guru atau pengajar dalam dunia sekolah. Katekis memang mengajar, tetapi dia bukan guru. Dia adalah seorang fasilitator (dari fasilitas, artinya kemudahan). Fasilitator berarti orang yang menyediakan fasilitas atau kemudahan. Kemudahan itu dapat berupa pengalaman, pengetahuan/penguasaan bahan kateki­sasi, kasih dan perhatian, kedewasaan iman, keteladanan (disiplin, jujur, tanggung jawab, cakap mengajar, cakap membimbing) dll. Katekis tidak bersikap dan bergaya sebagai guru terhadap murid seperti guru dan murid di sekolah. Posisi katekis tidak "di atas" melainkan "di samping" katekumen.

IV. TUJUAN KATEKISASI DAN PENDEKATANNYA

A. TUJUAN KATEKISASI

Katekisasi bertujuan membantu katekumen untuk mencapai kedewasaan Kristen, Perjuangan untuk mencapai kedewasaan ini merupakan proses seumur hidup. Katekisasi berusaha untuk membangun dasar-dasar bagi semua upaya itu. Proses pendewasaan ini mencakup beberapa hal, sbb:

1. Pertumbuhan iman kepada Kristus, artinya:

a. Makin taat kepada Kristus.

b. Makin berusaha untuk lebih tahu tentang Firman dan Kristus.

c. Makin beriman/percaya kepada Kristus.

d. Makin berharap kepada Kristus.

2. Makin erat bersekutu dengan jemaat.

3. Makin aktif memberitakan Injil dan melayani jemaat dan masyarakat.

Ketiga hal tersebut di atas hendaknya terwujud dalam pertumbuhan katekumen sejak mengikuti katekisasi.

B. PENDEKATAN UNTUK MENCAPAI TUJUAN KATEKISASI

Katekis harus memandang katekumen sebagai manusia yang utuh. Tujuan katekisasi tersebut itu berhubungan dengan kepribadian dan kehidupan katekumen sebagai manusia yang utuh. Berdasarkan pemahaman itu buku ini memakai pendekatan tri daya, yaitu tiga macam potensi yang ada pada diri setiap orang. Potensi-potensi tersebut adalah:

1. Cipta, nalar atau akal budi. Ini adalah aspek kognitif atau pengetahuan. Nalar selalu menuntut ingin tahu atau tahu lebih banyak. Demikian juga katekumen. Bahan katekisasi perlu menjawab kebutuhan itu.

2. Rasa - karsa/perasaan/komitmen, akad tekad (=aspek afektif). Bila katekumen menghadapi masalah atau situasi, ia dapat menentukan sikap atau keputusan etis. Katekumen tidak bersikap netral atau bingung bila menghadapi masalah seperti, kemiskinan, kerusuhan dll.

3. Karya/aksi/kegiatan (=aspek motoris). Katekisasi hendaknya mendorong agar para katekumen berprakarsa untuk berbuat sesuatu tentang situasi atau masalah konkrit yang dihadapi, baik dalam rangka perencanaan katekisasi atau tidak demikian.

Katekisasi harus berusaha mengembangkan tridaya setiap kateku­men secara selaras dan seimbang. Apabila katekisasi lebih menekankan aspek cipta/pengetahuan, ia akan menghasilkan manusia Kristen yang pintar tetapi pasif atau sulit digerakkan. Ancaman itu harus kita waspadai.

IV. SISTEMATIKA DAN METODE

1. Sistematika

Sistematika atau tata urutan setiap pelajaran adalah sbb:

a. Thema atau judul.

b. Tujuan, yang terdiri dari dua macam:

i. Tujuan umum (pengembangan aspek cipta/nalar)

ii. Tujuan khusus (pengembangan afektif dan motoris) yang hendak dicapai.

c. Uraian thema atau judul,

d. Pokok-pokok diskusi.

Pokok-pokok diskusi ini disesuaikan dengan tujuan pelajaran yang telah ditentukan. dalam diskusi ini juga diusahakan sharing (saling tukar-menukar) pengalaman iman. Dalam setiap pelajaran katekumen diberi kesempatan untuk saling berbagi (sharing) penga­laman iman yang melibatkan katekis dan katekumen secara bersama-sama. Berbagi pengalaman iman itu pada hakikatnya sama dengan bersaksi untuk saling menguatkan iman. Karena itu pengalaman iman tidak dapat didiskusikan. Hanya disampaikan dan diterima. Dalam katekisasi colon-colon warga (=calon baptis) harus dianggap sebagai orang-orang percaya (beriman). Setiap orang beriman memiliki pengalaman iman karena hidupnya digerakkan iman kepada Kristus, Tuhan mereka.

Katekis hendaknya secara bijaksana menyesuaikan bahan pelajaran dengan situasi katekumen dengan menjaga agar tidak mempermiskin isi/bobot pelajaran.

2. Metode

Sesuai dengan pendekatan tridaya, metode yang dianjurkan adalah sbb:

a. Metode Informasi-Diskusi

i. Katekis mengemukakan tema pertemuan. Pentingnya tema ini ialah untuk membatasi pembicaraan agar makin mendalam.

ii. Katekis menyampaikan uraian tentang tema. Bagian -bagian Alkitab yang penting hendaknya dibaca bersama.

iii. Katekis memberikan kesempatan kepada katekumen untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang tidak dimengerti dari uraian thema tersebut

iv. Diskusi. (dalam diskusi dijalin pengalaman iman katekis dan katekumen). Gunakan pokok-pokok diskusi dalam memimpin.

v. Kesimpulan kelompok.

b. Metode Pengalaman Langsung

Katekis dan katekumen mengunjungi obyek-obyek tertentu yang dianggap perlu untuk mendalami pelajaran di kelompok katekisasi. Metode ini sangat menolong katekumen untuk menghayati (internalisasi) pokok-pokok pelajaran. Jadi, kunjungan lapangan ini harus mempunyai hubungan yang jelas dengan pelajaran. Kalau tidak demikian, kegiatan itu mungkin hanya sekedar piknik.

Prosedumya sebagai berikut:

i. Persiapan

s Waktu: dapat direncanakan sebelum atau sesudah pembahasan judul-judul tertentu. Bebas untuk memilih waktu. Mungkin perlu untuk mengunjungi lapangan terlebih dahulu baru kemudian membahas judul pelajaran yang dimaksud. Mungkin perlu juga un­tuk mempelajari judul baru kemudian mengunjungi Iapangan dan membahas temuan/hasilnya pada pertemuan berikutnya.

s Menentukan daftar pokok-pokok yang hendak diketahui dalam kunjungan lapangan (tentang kemiskinan, lingkungan hidup, upah buruh dll.

s Pilihlah obyek kunjungan yang sesuai dengan maksud kunjungan.

s Menghubungi pihak-pihak yang akan dikunjungi.

Semua harus direncanakan dengan baik. Semua masukan dari kunjungan dibahas dalam pertemuan berikutnya. Pembahasan itu hendaknya sampai tindak lanjut yang dapat dilakukan.

Pelajaran katekisasi tidak boleh hanya bersifat teoritis. Berhasilnya pelajaran tentang diakonia misalnya, tidak hanya karena katekumen lebih tahu tentang diakonia tetapi katekumen memiliki akad tekad bila berhadapan dengan masalah penderitaan /ketidakadilan di sekitarnya dan mampu belajar dari pengalaman praktis. Kunjungan lapangan sangat berguna untuk itu.

c. Metode Gotong Royong.

Tugas melayani katekisasi ini sebaiknya dilaksanakan secara gotong royong dengan anggota Majelis. Misalnya pembahasan tentang diakonia, sebaiknya diaken dilibatkan untuk memimpin. Pembahasan tentang keuangan gereja, sebaiknya dipimpin bendahara jemaat, dst.

Catatan tentang metode

1. Metode tanya jawab tidak dianjurkan sebab tidak konsekuen dengan prinsip mensubjekkan katekumen dan tidak sesuai dengan pendekatan tridaya. Metode tersebut lebih banyak "menghasilkan" orang Kristen yang secara intelektualistis (intelek berarti akal). Artinya, mereka berpengetahuan luas mengenai kekristenan, hafal pelajaran tetapi pasif.

2. Katekis hendaknya tidak bersemboyan "dalang ora kurang lakon" .
Kepintaran sekaligus keluwesan dalang ialah merangkai bermacam-macam hal, termasuk hal-hal yang sebenarnya tidak saling berhubungan tetapi dihubung-hubungkan dengan rumus "othak-athik mathuk". Semboyan ini sungguh membahayakan mutu katekisasi dan tidak bertanggung jawab.

DAFTAR SINGKATAN

PL Perjanjian Lama

PB Perjanjian Baru

GKSBS Gereja Kristen

Sumatera Bagian Selatan

Sumbagsel Sumatera bagian Selatan

Dst dan seterusnya

Sbb sebagai berikut

Tsb tersebut

Bnd bandingkan

Dll dan lain-lain

a.l. antara lain

sM. sebelum Masehi

M. Masehi

SR Sidang Raya

s. Surat

iptek ilmu pengetahuan

dan teknologi

ed Editor

A.S. Amerika Serikat

Sda Sama dengan atas

ay

CJ

DPB

MPS

PI

HAM

RK

MPK

Tager

Talak

BHP

ybs

yad

hlm

LAI

lih

dkk.

Ayat

Calon Jemaat

Daerah Pertumbuhan Baru

Majelis Pekerja Sinode

Pekabaran Injil

Hak Asasi Manusia

Roma Katolik

Majelis Pekerja Klasis

Tata Gereja

Tata Laksana

Biaya Hidup Pendeta

yang bersangkutan

yang akan datang

halaman

Lembaga Alkitab Indonesia

Lihat

dan kawan-kawan

Singkatan nama-nama kitab dari Alkitab memakai singkatan yang dibuat oleh LAI, misalnya "Kel" bearti. Keluaran, 'Yoh"berarti Yohanes.

Tidak ada komentar: