Minggu, 20 April 2008

Pertemuan 24


GERAKAN OIKUMENE NASIONAL DAN LOKAL

Tujuan Umum Katekumen memahami:

1. Sejarah pembentukan DGI (kini PGI), PGI Wilayah, wadah gerakan oikumene lokal, tujuan dan semangatnya.

2. Memahami hambatan-hambatan dalam usaha-usaha keesaan gereja.

Tujuan khusus 1. Komitmen katekumen untuk berpartisipasi da­lam gerakanoikumene

2. Komitmen katekumen untuk menjawab masalah dan hambatan

dalam gerakan oikumene lokal.

PENGANTAR

Maksud pembahasan judul ini ialah agar katekumen mengenal dan memiliki sikap yang partisipatif dalm gerakan oikumene nasional dan lokal. Berturut-turut kita akan membahas pokok-pokok sbb.:

I. Gerakan Oikumene di Indonesia

1. Sekilas Sejarahnya

2. Tujuan PGI

3. Lambang PGI

4. Perubahan Nama DGI Menjadi PGI

5. Peranan dan Usaha-usaha PGI

6. Peigumulan Mengenai Keesaan dan Upaya Menuju GKYE

II. Kenggotaan GKSBS dalam Lembaga-lembaga Oikumene
III.
Gerakan Oikumene Lokal

1. Istilah dan Pengertian

2. Bentuk-bentuk Organisasional Gerakan Oikumene Lokal

3. Pokok-pokok Pikiran untuk Mengembangkan Gerakan Oi­kumene lokal

IV. Hambatan-hambatan dalam Gerakan Oikumene

1. Masalah Baptisan

2. Masalah Perjamuan Kudus

3. Masalah Jabatan

A. URAIAN

I. GERAKAN OIKUMENE DI INDONESIA

1. Sekilas Sejarahnya

Terbentuknya DGD pada tahun 1948 mendorong pembentukan lembaga-lembaga oikumene di berbagai negara, termasuk hidonesia.

Sejarah gerakan oikumene di Indonesia berawal dari pembentukan DGI (Dewan Gereja-Gereja di Indonesia) pada tanggal 25 Mei 1950 di Ja­karta dalam Konperensi Pembentukan DGI tanggal 22-28 Mei 1950. Da­lam struktur kepengurusan, DGI dipimpin Badan Pekerja DGI dengan ketika itu Ketua Prof. T.S. Gunung Mulia dan Sekretaris Ds. W.J. Rumambi. Selanjutnya, tanggal 25 Mei Hari Oikumene dan bulan Mei menjadi Hari Oikumene dan Bulan Oikumene yang dirayakan secara nasional dan diisi dengan berbagai kegiatan.

2. Tujuan PGI "mewujudkan Gereja Kristen yang esa di Indonesia"
(Tata Dasar PGI, bab II pasal 4).

3. Lambang DGI/PGI. Lambang itu ialah lingkaran dengan kapal

bertiang salib yang sedang berjayar di laut dengan tulisan "OIKUMENE' diatas tanda salib. Laut yang tidak pernah diam menggambarkan dunia dengan segala masalah dan tantangannya. Kapal bertiang melukiskan perjalanan gereja yang dipimpin oleh salib Kristus. Kapal dan laut tidak dapat dipisahkan, berarti

gereja ada untuk dunia ini. Gereja harus memasyarakat, harus memasuki pergulatan dunia. "Oikumene" bertujuan menyatukan gereja-gereja untuk mengarungi dunia ini secara bersama-sama.

4. Perubahan Nama DGI Menjadi PGI.

Sejak SR DGI di Ambon (1984) nama DGI (Dewan Gereja-gereja di Indo­nesia) diubah menjadi PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia) dengan pertimbangan bahwa nama "persekutuan" lebih mencerminkan kesatuan lahir batin, lebih mendalam, lebih gerejawi daripada nama "dewan" yang menyerupai organisasi biasa. Selanjutnya, setiap bulan Mei disebut Bulan Oikumene dan tanggal 25 Mei disebut HUT PGI, dikenal sebagai Hari Oikumene.

Menurut Dr.T.B. Simatupang, ada lima faktor pendorong gerakan ini, yaitu:

a. Alkitab (Yoh. 17:21) dan Pengakuan Iman

b. Nasionalisme Indonesia menjelang dan sesudah Perang Dunia II

c. Pengalaman pemuda Kristen Indonesia dalam lembaga kepemudaan internasional seperti CSV(Christelijke Studentenvereniging=Perhimpunan Mahasiswa Kristen)

d. Sekolah Tinggi Theologia Jakarta sebagai lembaga pendidikan calon pendeta yang oikumenis.

e. Pengaruh dari luar, inisamya DGD, IMC, WSCF dan tokoh-tokoh zending. Pendapat itu dapat kita terima. Pembentukan DGI itu didahului dengan Konperensi Persiapan Pembentukan DGI di Jakarta bulan November 1949. Pertemuan itu antara lain menegaskan bahwa perpisahan dan perpecahan gereja-gereja adalah dosa dan ketidaktaatan terhadap panggilan supaya menjadi esa.

5. Peranan Dan Usaha-usaha PGI

a. Mengusahakan keesaan gereja-gereja.

b. Sebagai "penyambung lidah" gereja-gereja kepada masyarakat dan Pemerintah.

c. Sebagai penghubung gereja-gereja dengan gereja dan badan-badan luar negeri.

d. Bidang penelitian masalah-masalah yang berhubungan dengan gereja.

6. Pergumulan Mengenai Keesaan Dan Upaya Menuju Gereja Yang Esa di Indonesia

Pokok persoalan adalah bagaimana sosok gereja Kristen yang esa di Indonesia itu menjadi pergumulan PGI. Semula dipergumulkan tentang menjadi satu gereja nasional dengan nama "Sinode Oikamene Gereja-gereja di Indonesia", disingkat SINOGI. Pendekatan untuk mewujudkan SINOGI ini ialah dengan menyatukan pengakuan iman dan tata gereja. Ternyata gagasan ini ditolak dalam SR di Makassar tahun 1967.

Sejak SR di Pematang Siantar tahun 1971 pendekatan keesaan itu ditekankan pada soal fungsi gereja. Artinya, bagaimana gereja-gereja melaksanakan panggilan masing-masing. Pergumulan ini tiba pada kesimpulan "keesaan dalam kepelbagaian". Kepelbagaian gereja diakui tetapi dengan ikatan bersama melalui PGI. Mereka tidak akan meleburkan diri menjadi satu gereja. Karena itu sejak SR di Tomohon 1980 disusunlah "Garis-Garis Besar Haluan dan Kebijakan di bidang Membaharui, Membangun dan Mempersatukan Gereja-gereja" (disingkat M3G). SR ke-X DGI di Ambon, 1984, menghasilkan LDKG (Lima Dokumen Keesaan Gerejaj), yang merupakan simbol penting dari keesan.

Adapun kelima dokumen tersebut secara berturut-turut adalah sbb:

a. PTPB (Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama).

b. PBIK (Pemahaman Bersama Iman Kristen).

c. PSMSM (Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima).
Dokumen ini a.l. menegaskan bahwa gereja-gereja saling mengakui
dan menerima jabatan, pelayanan sakramen, penggembalaan.

d. Tata Dasar PGI.

e. MKTDD (Menuju Kemandirian Teologi, Daya dan Dana).

Dari SR PGI ke SR berikutnya, LDKG mengalami pembaruan/penyesuaian dengan perkembangan. SR PGI di Palangkaraya pada bulan Maret 2000 juga memutuskan perubahan itu. LDKG ditingkatkan men­jadi DKG (Dokumen Keesaan Gereja) 2000, terdiri dari :

a. PBIK (Pemahaman Bersama Iman Kristen).

b. OG (Oikumene Gerejawi).

c. PTPB (Pokok-Pokok Tugas Panggilan Bersama).

d. TD (Tata Dasar).

Baik LDKG maupun DKG didahului dengan Prasetya Keesaan yang berisi janji bersama untuk mewujudkan GKXE (Gereja Kristen Yang Esa) di Indonesia.

Sebagai evaluasi, dapat disebutkan bahwa PGI selalu berada dalam tegangan antara keesaan kelembagaan (organisasi) dan keesaan fungsi. Selama ini PGI dinilai kurang menjemaat. Yang lebih dikehendaki ialah penekanan kegiatan bersama yang lebih banyak melibatkan gereja-gereja sehingga dukungan gereja juga makin meningkat.

II. KEANGGOTAAN GKSBS DALAM LEMBAGA OIKUMENE NASIONAL DAN LOKAL

GKSBS menjadi anggota PGI (nomor 58) sejak April 1988, sidang MPL PGI di Kendari, tanggal 20-27 April 1988.

GKSBS melalui jemaat-jemaatnya menjadi anggota PGI Wilayah di propinsi wilayabnya (di Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi).

GKSBS melalui jemaat-jemaatnya menjadi anggota atau berpartisipasi dalam lembaga atau forum oikumene setempat seperti, BK3 (Badan Kerjasama dan Kegiatan Kristen), BKSAG (Badan Kerjasama Antar Gereja), DGS (Dewan Gereja-gereja Setempat) atau nama- nama lokal lainnya.

Melalui keanggotaan dalam lembaga-lembaga itu GKSBS berpartisipasi dalam pergumulan dan kegiatan oikumenis baik di dalam negeri maupun internasional.

III. GERAKAN OIKUMENE LOKAL

1. Istilah Dan Pengertian

Yang dimaksud dengan gerakan oikumene lokal di sini ialah gerakan oikumene di daerah, baik propinsi maupun di wilayah-wiiayah dalam proinsi (Kotamadya, Kabupaten, Kecamatan, desa). Baik yang berhubungan dengan PGI maupun yang tidak. Gerakan ini mempunyai arti penting dalam pemerataan gerakan oikumene, khususnya dalam membangun kerukunan umat Kristiani. Gerakan tersebut melibatkan tidak hanya gereja-gereja anggota PGI dan lebih aktual dengan kebutuhan dan masalah setempat. Itulah salah satu kelebihan gerakan ini.

2. Bentuk-bentuk Organisasional Gerakan Oikumene Lokal

a. PGI Wilayah di propinsi-propinsi, berdiri atas prakarsa gereja-gereja setempat, merupakan Mitra dari PGI.

b. Sinode Am Gereja-gereja Sulawesi Utara/Tengah (SAG SULUTTENG).

c. POUK (Persekutuan Oikumene Umat Kristen) di tempat-tempat seperti pemukiman, perusahaan dll di mana umat Kristen dari berbagai gereja bertemu. Kini terdapat 79 POUK di Indonesia. POUK ini bukan gereja. Anggota POUK tetap anggota gereja masing-masing. Pelayanan sakramen dan nikah di lingkungan POUK diminta dari gereja-gereja. Harus diusahakan agar POUK tidak berubah menjadi gereja oikumene. Gereja oikumene tidak perlu ada sebab bertentangan dengan gerakan oikumene itu sendiri.

d. BK3 (Badan Kerjasama Kegiatan Kristen).

e. BKSAG (Badan Kerjasama Antar Gereja).

f. Forum Komunikasi Antar Gereja. Forum tidak melembaga, hanya merupakan pertemuan untuk membahas masalah-masalah atau maksud-maksud lain.

Wadah-wadah ini tumbuh dari prakarsa gereja-gereja setempat. Anggotanya tidak terbatas pada gereja-gereja anggota PGI.

3. Pokok-pokok Pikiran Untuk Mengembangkan Gerakan Oikumene Lokal

Dalam tugas dan pekerjaan kita sehari-hari sebagai anggota gereja hendaknya kita menempatkan (memposisikan) gereja kita dengan lembaga-lembaga gerejawi yang lebih luas seperti PGI, PGI Wilayah, BKSAG dll.

Beberapa hal yang perlu kita perhatikan:

Dalam pertemuan oikumenis segala tingkatan itu hendaknya gereja kita diwakili.

Hendaknya selalu menekankan hubungan-hubungan ke luar.

Pakailah bahan-bahan dari pihak lain seperti PA, khotbah, renungan dll.

Usahakan penerjemahan bahan-bahan dari pihak lain.

Bahaslah masalah-masalah bersama seperti masalah perpindahan warga, kepemudaan dll.

Kembangkan hubungan-hubungan oikumenis. Untuk itu setiap masalah bersama hendaknya dilokalisir dan dengan cepat diselesaikan agar tidak merembet.

Membuang ketakutan/kecurigaan terhadap pihak lain dan teguh berpegang pada kasih persaudaraan sebagai dasar pembicaraan.
Hubungan dengan pihak-pihak lain secara lambat laun harus dikembangkan ke diskusi tentang pokok-pokok penting.

Enam prinsip diskusi sebagai pedoman

s Memasuki diskusi dengan maksud baik (good will), yaitu kemauan untuk mengerti, tidak memaksakan kebenarannya sendiri.

Jika ada perbedaan pendapat, perbedaan itu hendaknya dicari sebab-sebabnya. Sering perbedaan itu hanya disebabkan oleh tradisi(kebiasaan), sedangkan kita tidak boleh terpecah belah karena tradisi.

Bila ada perbedaan pendapat, hendaknya dipahami apakah perbedaan itu hal prinsip atau hal pmktis. Pembedaan ini disadari dalam rangka mencari titik temu dan mencari kebenaran bersama. Sebaiknya paham tentang kebenaran lebih dikuatkan dengan PA, kebaktian atau mengulas data dari sejarah.

Menjauhkan diri dari desas-desus atau berita dari sumber-sumber yang tak dapat dipertanggungjawabkan.

Diskusi hendaknya menjadi usaha bersama dan hendaknya memperhatikan pengalaman bersama.

Materi diskusi hendaknya dipilih yang sesuai dengan kondisi setempat. Jangan yang sudah ketinggalan jaman dan jangan yang paling aktual (hangat) karena yang terakhir ini lebih mudah mendorong pertentangan. Mulailah dengan masalah yang setengah aktual kemudian ditingkatkan.

IV. HAMBATAN-HAMBATAN DALAM GERAKAN OIKUMENE

Ada masalah-masalah yang selalu menjadi hambatan dalam usaha penyatuan gereja-gereja, yakni:

1. Masalah baptisan. Ada gereja-gereja yang menyetujui baptisan anak dan ada yang menolaknya.

2. Masalah perjamuan kudus. Menurut RK dan Gereja Ortodoks, dalam Perjamuan Kudus terjadi transubstansiasi. Artinya, roti dan anggur berubah menjadi daging dan darah Yesus. Gereja-gereja Protestan menganggap bahwa roti dan anggur itu merupakan lambang dari tubuh dan darah Yesus.

3. Masalah jabatan. Gereja RK, Ortodoks dan Anglikan berpendapat bahwa uskup sebagai pejabat gereja adalah pengganti rasul Petrus. Gereja-gereja Protestan berpendapat bahwa rasul tidak diganti.

B. POKOK-POKOK DISKUSI

1. Semangat apa saja yang mendorong pembentukan DGI?

2. Apa saja yang sebaiknya kita lakukan sebagai isi dari peringatan Hari Oikumene dan Bulan Oikumene?

3. Lengkapilah hambatan-hambatan keesaan gereja yang telah disebut di atas dengan hambatan-hambatan yang dialami bersama setempat (di sini)! Bagaimana pendapat dan sikap Saudara terhadap hambatan-hambatan itu?

4. Apa saja usul-usul Saudara agar gerakan oikumene setempat dapat lebih berdayaguna?

Tidak ada komentar: