Minggu, 20 April 2008

Pertemuan 20


KEMANDIRIAN GEREJA DAN WARGANYA

Tujuan Umum Katekumen memahami:

a. Arti kemandirian gereja dan warganya

b. Dasar-dasar kemandirian

c. Hambatan dan potensi kemandirian gerejanya

Tujuan khusus Katekumen memiliki komitmen mengenai tantangan kemandirian

gerejanya.

PENGANTAR

Di bawah judul ini kita akan membahas pokok-pokok berikut:

I. Definisi/pengertian kemandirian gereja

II. Dasar subyek dan bidang-bidang kemandirian

III. Kemandirian teologi

1. Pengertian

2. Syarat untuk mengembangkan kemandirian teologi

a. Orientasi Alkitabiah

b. Menjadi gereja yang memasyarakat

3. Indonesianisasi/pempribumian iman Kristen

a. Pengertian kebudayaan, adat/tradisi

b. Tiga lapisan kebudayaan

i. Idea (sistem nilai budaya)

ii. Kelakuan (sistem norma)

iii. Fisik (sistem sosial)

c. Adat/tradisi

4. Dasar teologis usaha pempribumian

5. Hubungan agama dan kebudayaan

6. Pedoman kerja pempribumian iman

7. Sebuah refleksi pengalaman

IV. Kemandirian bidang daya (sumber daya manusia/SDM)

1. Pengertian SDM

2. Usaha-usaha yang perlu untuk kemandirian daya

3. Perencanaan ketenagaan
V. Kemandirian bidang dana

1. Pengertian kemandirian dana

2. Usaha-usaha untuk kemandirian dana

A. URAIAN

I. DEFINISI/PENGERTIAN KEMANDIRIAN GEREJA

Setidaknya ada dua pengertian tentang kemandirian gereja yang kedua-duanya tidak perlu dipertentangkan karena kedua-duanya benar dan hanya berbeda sudut pandang.

i. Kemandirian gereja beiarti segala usaha secara terus-menerus dan bersama-sama mengembangkan potensi (kemampuan) /karunia jemaat untuk melaksanakan tritugas gereja: bersekutu, bersaksi dan melayani.

Penjelasan:

a. Pelaksanaan tritugas tersebut menjadi ciri kemandirian gereja.

Melalui segala usaha itu gereja terarah kepada kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan sesuai dengan kepenuhan Kristus (Ef.4:13).

ii. Kemandirian gereja adalah kemampuan untuk memerintah diri sendiri, mengembangkan diri dan membiayai diri.

II. DASAR, SUBJEK DAN BIDANG KEMANDIRIAN

1. Dasar

Iman kepada Yesus Kristus yang menumbuhkan rasa percaya diri dan harga diri (bnd. Yoh. 4:42, 2 Kor. 8:9, 1 Tes. 4:11,12, Kis. 20:35) dan panggilan supaya menjadi kawan sekerja Allah (1 Kor. 3:9).

Karena merupakan panggilan, maka memerlukan perjuangan dan pengorbanan untnk mewujudkan kemandirian.

2. Subjek (Pelaku)

Setiap orang Kristen, keluarga, jemaat, Klasis, Sinode dan lembaga-lembaga gerejawi (bnd. Ef. 4:16).

3. Bidang Kemandirian

Kemandirian gereja mellputi tiga bidang penting, yaitu teologi, daya dan dana. Kita tidak boleh mempersempit paham kemandirian gereja hanya ke bidang dana saja! Penyempitan seperti itu telah menjadi salah kaprah. Kita akan membahas tiga bidang kemandirian ini secara berturut-turut

III. KEMANDIRIAN TEOLOGI

1. Pengertian

Secara sederhana, teologi berarti tanggapan kita sebagai orang beriman dan jemaat terhadap Firman Tuhan dalam Yesus Kristus untuk hidup di dalam masyarakat dan bangsa kita. Firman Allah itu dinyatakan dalam Alkitab dan berpusat pada Yesus Kristus. Teologi yang dimaksud di sini bukanlah karangan para teolog tetapi keyakinan yang hidup di benak kita, yang mengilhami, yang menggerakkan serta mewarnai kehidupan dan perilaku kita sebagai tanggapan terhadap firman Tuhan dalam situasi nyata kita.

Dari pendahuluan buku ini telah disebutkan bahwa para trasmigran Kristen itu berteologi sendiri tentang apa yang harus dipikirkan dan dilakukan dalam situasi mereka.

Teologi dalam pengertian itu bukan sesuatu yang dari luar diri kita melainkan dari dalam dan milik kita. Teologi dari luar diri kita, misalnya dari para ahli dan buku-buku, memperkaya milik kita itu. Sebagai keyakinan dan wawasan, teologi menjadi dasar bagaimana kita bersikap dan bertindak sehubungan dengan pergumulan pribadi, keluarga, jema­at, masyarakat dan bangsa di segala bidang: keadilan, kemiskinan, pendidikan generasi muda dll.

Telah disebutkan tentang pentingnya menjadi Kristen Indonesia, bukan Kristen di Indonesia. Ketika kita menjadi Kristen, kita bukanlah orang-orang yang kosong. Sesudah menjadi Kristen, kita tetap orang Indonesia dengan kebudayaan, adat, pola pikir dan cita rasa Indonesia. Injil yang kita terima tidak "membumi-hanguskan" ke-Indonesiaan kita melainkan mengangkat, mengoreksi dan membaharuinya.

2. Syarat-syarat Untuk Mengembangkan Kemandirian Teologi

a. Meningkatkan orientasi Alkitabiah. Yesus Kristus adalah titik pusat lingkaran kehidupan kita. Proses kehidupan kita berlangsung "mondar-mandir": mengarah kepada Kristus dan bertolak dari Kristus. Proses kehidupan mengarah dari situasi kita ke Kristus, dan dengan bertolak dari Kristus kita memandang dan menyikapi situasi (dalam arti sempit dan luas). Misalnya, bila petani sedang panen, mereka memandang Kristus yang memberkati kerja kerasnya sebagai petani; dan bertolak da­ri Kristus mereka berniat mengucap syukur melalui persembahan undhuh-undhuh. Gerak "mondar-mandir" ini berlaku dalam semua bidang kehidupan: sebagai petani, pelajar, pegawai, pengusaha, pekerja dll. Dan berlangsung seumur hidup, Pengetahuan Alkitab dapat membantu orang beriman untuk membangun kehidupan yang Kristosentris (=berpusat kepada Kristus). Sebab dari Alkitab kita mendapat contoh dan petunjuk bagaimana hidup ber­iman. Usaha-usaha meningkatkan orientasi Alkitabiah ini a.l. dengan PA (Pemahaman Alkitab), ibadah (di gereja, di keluarga), pembacaaan Alkitab/ renungan pribadi, retret, doa, katekisasi dll., asalkan semua itu dilakukan untuk hidup. PA misalnya, tidak ditujukan untuk PA itu sendiri, tetapi PA untuk hidup (mengoreksi kesalahan, kelambanan bergereja; mengoreksi budaya malas; memerangi kemiskinan; membangun hubungan antar umat beragama dll.). Pengembangan orientasi Alki­tabiah ini terjadi serentak dengan bertumbuh dan menuju ke kedewasaan penuh (Ef. 4:13).

b. Menjadi gereja yang memasyarakat. Pokok ini akan dibahas di bab lain buku ini. "Memasyarakat" berarti berpandangan "dunia sentris", menaruh peduh kepada perkembangan /masalah/perubahan masyarakat, umat beragama lain, bersaksi dan melayani. Bila jemaat mengasingkan diri dari masyarakatnya, tentu mereka tidak akan mampu mengembangkan kemandirian teologinya. Kita mengalami kesulitan dari dalam untuk mengembangkan Indonesianisasi ini karena umumnya kita cenderung mementingkan kesalehan rohani.

Sikap ini berakar dari Pietisme. Akibatnya, jemaat kurang membudaya dan memasyarakat. Pietisme itu salah sebab hanya memen­tingkan rohani, mengabaikan keutuhan manusia. Paham itu harus kita perangi terus-menerus.

iii. Indonesianisasi/Pempribumian Iman Kristen

a. Pengertian Kebudayaan, Adat/Tradisi

Usaha pempribumian atau inkulturasi (kultur=kebudayaan) berhubungan dengan kebudayaan /adat/tradisi. Terlebih dahulu kita harus memahami apakah kebudayaan itu. Kata "kebudayaan" berasal dari kata "buddhayah" (Sanskerta), bentuk jamak dari "budi", artinya akal/nalar. "Kebudayaan" adalah kata majemuk dari "budi" dan "daya", artinya daya/kekuatan dari nalar. Meminjam pendapat Prof. Soedjito, kebudayaan adalah hasil cipta, karsa dan rasa manusia. Istilah "kultur", dari bahasa Inggeris "culture", asal kata "cultus" (Latin) yang berarti pemujaan. Jadi kebudayaan erat hubungannya dengan agama. Bahkan zaman dahulu, kebudayaan disamakan dengan agama.

b. Tiga Lapisan Kebudayaan

i. Lapisan 1: Ide (cipta/pikiran/nalar), disebut juga "sistem nilai budaya". Isinya: gagasan, konsep, norma-norma, pandangan hidup, nilai-nilai, aturan-aturan dll. Lapisan ini bersifat kabur atau abstrak (tidak berwujud) dan tidak rasional. Misalnya gagasan tentang gotong royong, hidup bahagia, hari kiamat, perang dunia III, jalan-jalan di planet Mars dll. Adat (tunggal) atau adat-istiadat (jamak) adalah bagian dari ide yang mengatur dan mengarahkan kelakuan (lapis 2). "Tradisi" adalah adat-is­tiadat yang diturun-alihkan secara turun temurun baik secara lisan maupun tertulis.

ii. Lapisan 2: Kelakuan, disebut juga "sistem norma". "Kelakuan" adalah tindakan, kegiatan, aktivitas atau perilaku yang sesuai isi idea tersebut di atas misalnya norma/ petunjuk etik moral atau tata krama, unggah-ungguh. Lapisan ini lebih konkret daripada lapisan pertama.

iii. Lapisan 3: Fisik, disebut juga "sistem sosial", yang adalah hasil tin­dakan sebagaimana dimaksudkan di lapis 2. Wujudnya: benda atau hal hal yang kasat mata (wayang, candi, cangkul, mobil, batik, sendok makan, seruling dll).

Keterangan ini mengingatkan bahwa pengertian kebudayaan itu begitu luas, bukan hanya menyangkut kesenian, bukan hanya segala sesuatu yang bersifat fisik seperti candi, monumen dll., tetapi juga batiniah, falsafah hidup dll.

c. Adat/Tradisi

Alkitab menyebut kata "adat" sebagai terjemahan dari "paradosis", "paradidomi" (Yunani) yang artinya ajaran Yahudi yang harus diteruskan seorang Yahudi kepada sesama Yahudi atau dari guru Yahudi kepada muridnya. Orang Yahudi menyamakan tradisi Yahudi yang merupakan ulasan PL itu dengan firman Tuhan. Yesus menyalahkan dan menganggap mereka itu melanggar perintah Allah. Katanya: "Mengapa kamupun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu? (Mat. 15:3, bnd. Ay. 6, Mrk. 7:8-13). Adat itu adalah pengajaran manusia (bu­kan firman) (Mat. 15:9, Mrk. 7:6-7). Adat Yahudi yang melawan firman itulah yang ditentang Yesus. Adalah salah apabila kita ikut-ikutan menentang sembarang adat yang lain. Demikianlah tentang adat Yahudi.

Bila yang dimaksudkan untuk orang Kristen, dipakai terjemahan "ajaran" (1 Kor. 11:2). Kalau Yesus mengulas kitab-kitab PL, ulasan-Nya sama dengan firman Tuhan dan mengandung kuasa. la membedakan dengan jelas antara kutipan Taurat (biasanya dengan perkataan "kamu telah mendengar...") dan ajaran-Nya (biasanya dengan perkataan "teta­pi Aku berkata kepadamu ..."), (lih. Kotbah di bukit Mat. 5-7). Yesus memenuhi tuntutan hukum Taurat. Tentu saja rasul-rasul mengikuti Yesus. Kita mengenal Kristus dari kesaksian rasul-rasul pula. Maka tra­disi para rasul ini juga setara dengan firman Tuhan (bnd. 2 Ptr. 1:16,19.

Isi tradisi Kristen menurut PB tersebut adalah:

i. Data tentang Yesus Kristus (Luk. 1:2, 1 Kor. 11:23; 15:3).

ii. Penafsiran tentang data tentang Yesus Kristus, (1 Kor. 15).

iii. Cara hidup sebagai akibat dari data tentang Yesus Kristus tersebut (1 Kor. 11:2; 2 Tes. 2:15; 3:6-7).

Memahami adat dan tradisi menurut Alkitab ini diperlukan supaya kita tidak menyamakan begitu saja pengertian tentang adat dan tradisi versi Alkitab dan versi kebudayaan.

4. Dasar Teologis Usaha Pempribumian

Iman Kristen adalah hal yang sifatnya universal, "mendarat" dalam diri kita sebagai orang Kristen Indonesia, terjabar dan terungkap dalam ke-Indonesiaan kita. Usaha untuk mengungkapkan itulah yang di sini disebut Indonesianisasi.

Kita lahir dan dibesarkan dalam budaya kita dan bergaul dengan teman-teman yang bukan Kristen. Kita dipengaruhi oleh nilai, tatanan, norma, adat kebiasaan, kebudayaan suku/ bangsa, agama-agama lain yang telah membaku secara turun temurun. Kita tidak mungkin bebas dari pengaruh-pengaruh itu! Di sisi lain, iman juga merupakan kuasa (power) yang merubah kita menjadi manusia baru. Iman bukan cat luar pada diri kita tetapi menyatu padu dengan diri kita, lahir batin. Iman itu pula yang menghidupi dan menggerakkan perjuangan kita dalam malang melintangnya kehidupan ini.

Dalam proses kehidupan beriman, kita mengalami pergumulan rangkap. Yaitu pergumulan vertikal (ke atas, dengan Tuhan) dan horisontal (mendatar, dengan dunia seisinya dan alam semesta) secara serentak atau sekaligus. Dalam pergumulan horisontal itu kita bergumul a.l. dengan kebudayaan yang telah membesarkan kita. Kita berjumpa dengan Yesus Kristus, Allah yang berinkarnasi menjadi seorang Yahudi tanpa perlu menjadi orang Yahudi. Ia dibesarkan dalam kebudayaan, bahasa, dan kebangsaan Yahudi. Alkitab dan Yesus Kristus kita terima itu dalam "pakaian" Yahudi.

Indonesianisasi pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari inkarnasi Yesus Kristus. Karena itu Indonesianisasi merupakan panggilan Tuhan. Panggilan itu sekarang lebih mendesak untuk diusahakan de­ngan sungguh-sungguh sebab kita harus berpartisipasi dalam ketahanan budaya Indonesia menghadapi modernisasi dan globalisasi yang dapat membuat nilai-nilai kebudayaan kita luntur atau bahkan dapat mati.

Indonesianisasi tidak sama dengan dan tidak berarti kembali ke kebudayaan lama. Kebudayaan kita sedang berubah dan akan terus berubah karena modernisasi dan globalisasi. Pengaruh kebudayaan luar akan dengan deras melanda Indonesia berkat kemajuan teknologi komunikasi dan informasi a.l. melalui TV dan internet.

5. Hubungan Agama Dan Kebudayaan

James W. Fowler membahas hubungan antara agama dan kebudayaan. Ia mengemukakan perkembangan hubungan itu melalui lima tahap:

a. Tahap intuitif proyektif. Agama dihayati melalui lambang-lambang. Lambang dan yang dilambangkan itu dianggap sama. Misalnya, dalam penyembahan berhala.

b. Tahap initikal literal ("mitikal" dari kata myth, bahasa Inggris, artinya dongeng). Agama dihayati melalui dongeng. Umat ingin menyamakan diri dengan tokoh-tokoh dalam dongeng dan melaluinya mereka mengenal dunia dan bagaimana harus bidup di dunia. Dalam arti tertentu kita pun memakai cara ini, Misalnya melalui pelajaran sejarah suci. Cerita tentang Abraham mendorong kita untuk hidup beriman seperti dia, walaupun kita sering tidak tahu. Cerita tentang Ayub mendorong kita untuk beriman teguh dalam pencobaan.

c. Tahap sintetik konvensional. Dalam tahap ini orang mulai berpikir dan melahirkan doktrin (ajaran). Umat berpikir secara deduktif (da­ri wahyu "turun" ke dunia kehidupan) dan induktif (pengalaman). Doktrin diterima bila sesuai dengan pengalaman.

d. Tahap refleksi perorangan. Dalam tahap ini orang berusaha membebaskan diri dari dongeng. Proses ini disebut demitologisasi (=membebaskan diri dari dongeng).

e. Tahap iman konjuntif. Dalam tahap ini orang mengerti bahwa kebenaran itu bersifat multidimensi (beraspek banyak) dan saling berkaitan. la sadar bahwa kebenaran yang dimiliki itu terbatas (tidak lengkap). Orang mencari kebenaran dengan analisa perasaan dan keterlibatan/partisipasinya dalam memecahkan masalah.

Boleh dikatakan sebagjan besar warga jemaat dan masyarakat kita masih dalam tahap 1 dan 2. Teori pentahapan itu berguna dalam kegiatan pembinaan. Dalam belajar-mengajar sebaiknya kita berusaha menghidupkan cerita lama dengan membawa para pendengar ke situasi tokoh-tokoh cerita itu untuk menanamkan nilai-nilai moral (etika). Teori ini menjadi sumbangan berarti dalam memikirkan Indonesianisasi de­ngan menggali dan mengolah kebudayaan lama kita.

H.Richard Niebuhr menyumbangkan pedoman yang berupa lima pilihan (alternatif) sikap iman terhadap kebudayaan:

1 Menolak: Iman menolak kebudayaan. Pertimbangan: Kristus melarang untuk mencintai dunia (1 Yoh. 2:15-16). Iman itu dari "atas" (suci), kebudayaan itu dari "bawah" (tercemar dosa). Yang penting ialah kesalehan rohani. Semua yang material dianggap jahat. Inkarnasi Yesus diterima tetapi yang penting adalah Roh-Nya.

2 Menerima: iman dan kebudayaan tidak saling bertentangan, malahan ada persamaan-persamaan. Harapan kebudayaan/adapt tentang "yang baik" terpenuhi di dalam pengajaran dan pekerjaan Kristus. Orang Kristen supaya menerima dan menyatukan kebudayaan dengan Injil.

3 Sintesis (oplosan): Injil dan kebudayaan saling mengisi, dapat dikompromikan secara harmonis. Kebudayaan adalah prestasi/kekayaan dari kodrat manusia (dari bawah). Tetapi kebudayaan itu tidak sempurna sebab dosa. Karena itu haras disatukan dengan yang adikodrati (dari atas). Yang adi kodrati (Kristus) lebih tinggi daripada kebudayaan. Dosa tidak merusak manusia secara total, dalam kebudayaan masih ada hal-hal yang baik. Gereja Katolik menganut pandangan ini.

4 Dualistis: Iman dan kebudayaan tidak saling berhubungan. Ada aturan Kerajaan Allah (hukum kasih) dan aturan dunia (undang-undang, adat dll.). Orang Kristen hidup dalam Kerajaan Allah dan dunia ini. Kedua dunia itu tidak saling berhubungan. Gereja Lutheran, HKBP misalnya, menganut sikap ini. Kalau orang Kristen dirampok misalnya, ia mengampuni perampok itu (demi taat kepada Kerajaan Allah: kasih). Tetapi ia juga harus taat kepada aturan dunia, maka perampok itu harus diserahkan kepada polisi. Kalau dia dipenjara, orang Kristen tersebut harus rajin menengoknya untuk menghibur, menguatkan, membuatnya kenal Kristus (demi hukum kasih).

5 Membaharui: Kebudayaan, adat istiadat tercemar oleh dosa. Maka kebudayaan harus dipandang secara kritis. Tetapi Kristus telah menang atas dosa, Roh Kudus bekeria, termasuk menguduskan kebudayaan. Di sisi lain, kekuatan anti Kristus juga tetap bekerja melalui kebudayaan/adat. Tugas kita mengikuti pekeriaan Roh Kudus: membaharui kebudayaan/adat istiadat Kita memilih dari unsur-unsur kebudayaan itu: unsur yang sesuai dengan iman Kristen diterima dan yang bertentangan dengan iman dibuang. Sikap ini dianut oleh gereja-gereja Calvinis (GKI, GKJ, GKSBS dll).

5. Pedoman Kerja Pempribumian Iman

Pempribumian merupakan tugas berkelanjutan yang harus kita pikirkan secara bertanggung jawab. Itu adalah hutang kita sebagai gereja selama ini. Karena itu kita memerlukan pedoman kerja. Dengan memperhatikan sumbangan Richard Niebuhr dan James W. Fowler di atas, kita dapat menyimpulkan pedoman kerja untuk menggarap pempribumian iman, sbb:

a. Membaharui tradisi/adat kebiasaan dengan jalan memilih unsur-unsur kebudayaan yang sesuai (tidak bertentangan) dengan Injil Kristus. Unsur-unsur kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Injil, dapat dikristenkan.

Sebagai catatan, yang sangat jelas bertentangan dengan iman Kristen ialah slametan untuk arwah orang mati dan upacara-upacara yang berhubungan dengan roh. Alkitab menegaskan bahwa ti­dak ada hubungan antara orang yang telah meninggal dan yang masih hidup (bnd. cerita orang kaya dan Lazarus yang miskin, Luk. 16:19-31).

b. Berusaha menghidupkan cerita lama dan situasi tokoh-tokoh dalam cerita itu untuk menanamkan pedoman moral/etika (kaidah perilaku).

c. Memperumbangkan tradisi gereja. Gereja kita adalah kesinambungan dari gereja rasuli sepanjang abad.

d. Menunjang ketahanan budaya bangsa.

Sejarah gereja memberi contoh cara kerja memberi isi baru kepada wadah yang lama. Misalnya, Natal yang direkayasa dari ibadah menghormati dewa Mitra (Matahari) dari bangsa Persia. Di situ dewa Mitra (Matahari) diganti dengan Yesus Kristus yang adalah sumber terang dunia.

6. Sebuah Refleksi Pengalaman

Sambil mencatat usaha-usaha yang telah dilakukan orang-orang Kristen selama ini, berikut ini dikemukakan contoh-contoh pempribumian. Yang pernah dilakukan itu di sini diberi tanda *)

No

Adat/Kebudayaan

Sikap dan Usaha Membahaini (Dapat Dipertimbangkan)

l

Slametan untuk arwah orang meninggal. (Hari 1, 3, 40, 100, 1 tahun, 1000 harL

Tidak dapat diterima atau diperbarui. Alasan: tak ada hubungan antara arwah dan orang hidup (Luk. 16:19-31). Cukup dengan mengadakan kebaktian penghiburan untuk keluarga duka.

2

Moyen dan slametan sepasaran (Wilujengan). Pemberian nama kepada anak, hari ke- 5 anak lahir.

Moyen sebagai satu bentuk kerukunan

dapat diterima.

Kebaktian Kebaktian ucapan syukur

pada hari ke 5 itu (=sepasar) bersama

dengan tetangga, mengumumkan nama

anak.

3

Bersih desa. Pada bulan/ tanggal tertentu desa mengadakan slametan, minta agar desa bebas dari bencana, tetap rukun sejahtera. Praktik: kenduren, penduduk membawa ambeng lengkap dengan lank pauk. Malnm ada pertunjukan wayang kulit dengan lakon membangun desa, menghormati dewi Sri dIL

Ada yang menilai sebagai tradisi belaka,

tidak ada unsur penyembahan berhala

lagi. Sebagai tra­disi kerukunan, masalah

sosial belaka. Tidak perlu dianggap

akan mengganggu iman. Demi

kerukunan masyarakat, orang Kristen

mengikutinya.

Ada yang masih mengganggap berunsur

penyembahan berbala. Disitu orang

Kristen banya mengikuti dan minta

waktu untuk berdoa bersama karena

keselamatan kampung juga menjadi

tanggung jawab mereka. Demi

kerukunan.

4

Wayang dengan berhagai lakon.

Lakon dengan sisipan berita InjiL*)

Wayang Wahyu (kreasi) *)

5

Gamelan sebagai musik.

Dipakai da lam ibadah gereja. *}

6

Kenduren (umum)

Kebaktian syukuran, undang tetangga, sehubungan dengan peristiwa baptisan, sidi, dlL dengan maksud sebagai pengganti kenduren (karena orang Kristen sering diundang tetangganya). *)

7

Gumbrekan. Tata cara mengolah tanah, menanam padi, memanen semua dengan menghormati dewi Sri.

Jemaat membawa contoh bibit tanaman yang akan di tanam ke gereja, didoakan bersama. *)

8

Perdukunan

s Dukun klenik: urusan Petung hari baik/buruk, japa mantra, prewangan, meramal menolong mencari maling, mencari jodoh, mencari kerja dll.

s Dukun ngelmu : peguron, beri wejangan, puasa, berpantang (nyirik), Tujuan : kesempurnaan, keselamatan.

s Dukun sakti : memberi mantra ilmu, kesaktian, zimat keris, wesi aji, welut putih,kain bertuah,batu bertuah.

Tidak dapat diterima sebab ini menyangkal Tuhan (Kej.3:16)

9

Sesajen untuk roh-roh orang mati dianggap tetap hidup dan dapat dihubungi. Selain itu, ada roh baik dan roh jahat. Maka mereka itu makan, minum, mencium bau. Wujudnya : makanan, minuman, wangi-wangian ditaruh di meja di rumah pada hari-hari tertentu. Sesajen diberikan supaya roh-roh itu menolong pemberi sesajen. (Supaya dagang secara lancar dll.)

Tidak dapat diterima. Alkitab melarang orang beriman untuk brhubungan dengan roh-roh ( Ul. 18:9 dst.)

10

Tingkeban.upacara hamil 7 bulan. Tujuan : meminta selamat untuk ibu yang hamil dan bayinya

Dapat diselenggarkan kebaktian syukur dan mohon selamat dan sehat bagi ibu ybs. Dipimpin oleh ssepuh Kristen setempat.

IV. KEMANDIRIANSUMBERDAYA MANUSIA (SDIRI)

1. Pengertian SDIRI

"Daya" di sini berarti warga gereja, khususnya anggota sidi dan potensi atau kemampuan jemaat untuk melaksanakan tritugas gereja, yaitu keesaan, kesaksian dan pelayanan. Warga gereja, yang juga disebut sumber daya manusia (SDM), dapat digolongkan sbb.:

a. Golongan kategorial: kaum bapak, wanita, pemuda dan anak-anak.

b. Secara fungsional: petani, pengusaha, pedagang, pegawai, wiraswasta, pekerja (buruh) dll.

c. Menurut jabatan gerejawi, dapat dibedakan menjadi pejabat (diaken atau syamas, penatua, pendeta) dan warga biasa (sering disebut awam).

2. Usaha-usaha yang Perlu Dilakukan untuk Kemandirian Daya

a. Pembinaan. PWG (Pembinaan Warga Gereja) untuk mencapai beberapa tujuan:

1 Meningkatkan kerohanian melainkan supaya warga gereja melakukan tugas panggilan bersekutu, bersaksi dan melayani semua orang.

2 Meningkatkan kesejahteraan jasmani. Pembekalan pengetahuan dan ketrampilan supaya mereka produktif. Mustahil SDM kuat bila orangnya sakit-sakitan dan kurang gizi. Peningkatan kesejahteraan ini diperlukan supaya setiap warga dapat membagi kehidupan pribadi demi kesejahteraan orang lain. Manusia baru makan untuk kenyang supaya dapat mengenyangkan orang-orang lain. Itulah wujud kenyang yang memuliakan Tuhan.

3 Untuk menjadi warga masyarakat dan negara yang bertanggungjawab.

3. Perencanaan Ketenagaan.

Kader untuk pejabat, pengurus badan pembantu, tenaga-tenaga, termasuk tenaga ahli yang dibutuhkan hendaknya dipersiapkan.

V. KEMANDIRIAN DANA

1. Pengertian Kemandirian Dana

Kemandirian bidang dana berarti kemampuan menggali sumber-sumber dana, mengamankan dan menggunakannya untuk membiayai tugas-tugas gereja. Mandiri di bidang dana berarti tidak mau tergantung kepada pihak lain. Sikap mandiri ini berarti percaya kepada janji Tuhan yang akan melimpahkan berkat-Nya di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan dalam pelbagai kebajikan (2 Kor. 9:8). Usaha meningkatkan kemandirian bidang dana ini hendaknya berjalan seiring dengan usaha-usaha meningkatkan kesejahteraan jasmani warga gereja. Warga gereja adalah salah satu sumber dana gereja. Partisipasi warga dalam usaha kemandirian dana ini sangat ditentukan oleh tingkat kedewasaan iman mereka. Itulah sebabnya ada anggota jemaat yang kaya tetapi ia kurang rela untuk menyumbang dll.

2. Usaha-usaha yang Perlu untuk Kemandirian di Bidang Dana

a. Meningkatkan orientasi Alkitabiah, khususnya penatalayanan dan persembahan.

b. Meningkatkan program kerja gereja. Peningkatan dana gereja itu menempuh cara-cara yang tidak langsung. Bila langsung, sama dengan meminta-minta. Cara yang terbaik ialah meningkatkan, menjemaatkan program kerja gereja. Agar lebih banyak warga berpartisipasi, sejak awal penyusunan program hendaknya melibatkan warga gereja sebanyak-banyaknya.

c. Penyadaran warga gereja untuk mempersembahkan.

d. Saling menopang di antara warga dan di antara gereja-gereja. Suatu gereja dapat minta bantuan dana dari gereja lain dan wajib membantu gereja lainnya.

e. Menggunakan dana sesuai dengan misi gereja.

f. Pengelolaan dana gereja secara terbuka dan bertanggung jawab.

g. Penelitian dan perencanaan keuangan gereja.

h. Keteladanan para pemimpin dalam berpartisipasi untuk keman­dirian dana.

i. Mengembangkan cara-cara inkonvensional (yang tidak lazim), misalnya persembahan natura pada Minggu tertentu secara teratur, meminta kesanggupan warga untuk meinikul biaya untuk rencana-rencana tertentu, bazar, lelang, kerja kolektif untuk mengisi kas gereja dll). Selama ini gereja lebih sibuk dengan cara-cara konvensional seperti kantong persembahan, kartu bulanan dll. Peranan motivasi untuk ini sangat diperlukan.

B. POKOK-POKOK DISKUSI

1. Bagaimanakah yang disebut gereja mandiri itu?

2. Kemandirian meliputi tiga bidang: daya, dana dan teologi. Jelaskan!

3. Apakah gereja kita di sini termasuk gereja mandiri? Dalam hal apa saja gereja kita belum mandiri dan dalam hal-hal apa saja sudah mandiri? Jelaskan!

4. Bagaimanakah pendapat dan sikap Saudara terhadap tantangan kemandirian gereja di sini agar benar-benar mandiri?

5. Bagaimana pendapat Saudara tentang pempribumian iman Kristen? Jelaskan!

Tidak ada komentar: