Minggu, 20 April 2008

Pertemuan 16


MENGENAL GKSBS

Tujuan Umum Katekumen memahami sejarah, pergumulan dan keberadaan

GKSBS.

Tujuan khusus 1. Katekumen bersikap kritis terhadap sejarah dan pergumulan

GKSBS.

2. Katekumen memiliki komitmen terhadap pembangaunan

masa depan GKSBS.

PENGANTAR

Pokok bahasan ini merupakan "jendela" untuk mengenal GKSBS. "Tak kenal maka tak sayang", begitu kata orang. Kecintaan warga, khususnya warga sidi, kepada gerejanya diharapkan makin nyata dan berkembang.

Di bawah judul ini kita akan membahas pokok-pokok sebagai berikut:

I. GKSBS, keberadaan dan pergumulannya

1. Sekilas sejarah GKSBS

a. Kolonisasi sebagai titik awal.

b. Misi GKJS (Gereja Kristen Jawa Tengah bagian Selatan).

c. Strategi GKJS dalam pemberitaan.

2. Gambaran situasi awal dan perkembangan.

3. Hambatan.

4. Perkembangan.

5. Paham dan pemikiran untuk mandiri menjadi sinode.

6. Pengakuan keberadaan kelembagaan Sinode GKSBS.

7. GKSBS dan gerakan oikumene.

II. Masa depan GKSBS.

A. URAIAN

I. GKSBS, KEBERADAAN DAN PERGUMULANNYA

Sinode GKSBS berdiri pada tanggal 6 Agustus 1987. Tanggal tersebut adalah tanggal keputusan Sidang Sinode XVIII GKJ di Yogyakarta yang menyatakan bahwa Sinode Wilayah I GKJ dinilai layak menjadi gereja yang mandiri dengan nama Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan, disingkat GKSBS.

Keputusan itu dituangkan sebagai Piagam. Sidang menugaskan Deputat-deputat Sinode XVIII GKJ untuk menindaklanjuti dan menangani hal-hal peralihan dari Sinode Wilayah I menjadi Sinode GKSBS. Berdirinya GKSBS sebagai sinode terlaksana melalui pengesahan Tata Dasar GKSBS melalui Akta Notaris No. 117 tanggal 29 September 1987 dan Keputusan Dirjen Bimbingan Masyarakat Kristen (Protestan) Departemen Agama RI No. 100 Tahun 1987, tertanggal 14 Oktober 1987 mendaftar GKSBS dengan kantornya di Metro sebagai gereja di Indonesia.

Dengan keputusan Dirjen ini keberadaan Sinode GKSBS seba­gai lembaga keagamaan yang sah atau legal di Indonesia.

1. Sekilas Sejarah GKSBS

a. Kolonisasi Sebagai Titik Awal

Sejarah GKSBS berawal dari pemberitaan Injil dari GKJS di lingkungan trasmigran di Lampung pada zaman Hindia Belanda, mulai tahun 1938. Pdt. E. Hoogerwerf berjasa menulis sejarah GKSBS de­ngan judul Gereja di Tanah Seberang dalam buku terbitan BPK.

Pemerintah Hindia Belanda menyelenggarakan kolonisasi dari Jawa sejak tahun 1905 ke daerah Gedong Tataan (1905), Wonosobo (1921), Metro (1935), Sukadana (1935), Belitang (1937), Lubuk Linggau (1937) dan Bengkulu / Kepahiang (1909). Kegiatan yang terkait dengan kolonisasi ialah pembukaan lahan, pemukiman (bedeng), pembangunan bendungan/saluran irigasi (Way Sekampung dan Komering), jalan-jalan, lintas kereta api Tanjungkarang - Palembang - Lubuk Linggau dan sekolah-sekolah.

Di samping kolonis, banyak juga trasmigran spontan. Sesudah kemerdekaan pemerintah RI menyelenggarakan transmigrasi untuk mengurangi kepadatan penduduk di Jawa. Pemerintah RI juga membuka daerah-daerah baru di Sumbagsel. Orang-orang Kristen dari Jawa ikut serta dalam kolonisasi dan transmigrasi ini.

b. Misi GKJS

GKJS tertarik memutuskan untuk memberitakan Injil ke lingkungan trasmigran di Lampung (Sidang GKJS, Magelang, 1935).

Pemrakarsa PI di Lampung ialah Pdt. J. Darmohatmojo, pendeta gereja Purworejo, orang kunci dalam misi ini. Setelah selama tiga tahun tim dari sinode silih berganti dan mondar-mandir mengunjungi lapangan, sidang sinode GKJS di Kebumen tahun 1938 secara definitif memutuskan, sbb.:

1. Sinode memberitakan Injil kepada trasmigran Jawa di Sumatera Selatan.

2. Sinode menunjuk GKJ Purworejo sebagai gereja pengutus.

3. Semua jemaat berpartisipasi dalam pembiayaan pekerjaan itu.

Secara resmi pekerjaan itu dimulai 5 Juli 1938.

c. Strategi GKJS Dalam Pemberitaan

1. Pendekatan kepada pejabat pemerintah daerah, dari yang tertinggi (residen), kontroler, wedana hingga lurah dan carik desa.

2. Pendataan orang Kristen Jawa, menghimpun dan memelihara mereka untuk menjadi kelompok tetap menuju berdirinya je­maat. Pembentukan kelompok tetap ini diprakarsai oleh trasmigran sendiri sejak sebelum hadirnya misi GKJS.

3. Pewilayahan medan pelayanan menjadi wilayah Tanjungkarang, Trimurjo, Ambarawa, Wonosobo, Belitang. Kolportase, pelayanan bacaan Kristen untuk jemaat.

4. Mendirikan sekolah dan poliklinik. Tentang berdirinya sekolah, pemrakarsa adalah orang-orang Kristen setempat.

5. Pengadaan tenaga: guru Injil merangkap kolportir dan pendeta missioner. Sebelum ada pendeta, beberapa orang pendeta dari GKJS ditugasi untuk melayani tugas kunjungan dan pelayanan ibadah / sakramen.

Sejak masih dalam tahap penjajagan oleh Tim dari GKJS, pada tahun 1936 telah digagas kerjasama antara GKJS dengan Gereja Ge­reformeerd di Palembang. Gereja tersebut berdiri tanggal 13 Agustus 1933, beranggotakan orang-orang Belanda dan Cina sejumlah 144 orang. Mereka memiliki gedung gereja (sekarang menjadi GKP Siloam). Sebelum mandiri, jemaat tersebut merupakan kelompok dari gereja Gereformeerd di Batavia. Pada tahun 1938 itu pula disepakati kerjasama itu. GKJS melayani daerah Lampung dan Gereformeerd Palembang melayani Sumatera Selatan dan Bengkulu. Tetapi dalam perkembangannya, Gereja Gereformeerd Palembang juga membantu pemberitaan Injil di Lampung.

2. Gambaran Situasi Awal Dan Perkembangan

a. Tempat

Lampung: Ambarawa/Pringsewu, Wonosobo, Tanjungkarang, Trimurjo dan

Metro

Palembang: Palembang kota dan Plaju Daerah Belitang dan Tugumulyo.

a. Tahun, Tempat dan Jumlah Warga

1938-1942: 10 orang di Ambarawa/Pringsewu

11 orang di Palembang (data tak lengkap)

1938-1939: 3 KK di Wonosobo

1937-1941: 374 (lama dan baru) di Trimurjo dan Metro

1937-1939: 101 orang di daerah Belitang (termasuk baptisan baru) 1938-1939: 140 orang di Tugumulyo (termasuk 20 orang baptisan baru).
1934 : 1 KK di Jambi (ibadah 30 orang , termasuk simpatisan)

b. Guru Injil

1937-1941: Abyatar, Filemon (Metro)

1938-1939: Edy Siswadi Sihrahmanto (Margarejo) dan Mulyono (Tugumulyo)

1938-1942: Sangidjo (Palembang).

c. Pelaku Sejarah

1. Pribumi

Ambarawa/Pringsewu: Yusuf, Sadirun, Sukarno

Wonosobo: Toepon, Sumarmo

Tanjungkarang: Mursadi, Paidjo, Radikun, Setyahadi, Soekardi, Kasmad.

Palembang: Soemilah (bidan), Notodiharjo (perawat), Kasnoen.

Belitang: Wirokardjo. Tugumulyo: Tobing, Sasmadi, Ny. Mulyono (bidan).

2. Zendeling Barat

Pdt. Korvinus, Pdt. Seybesma, Pdt. Keuchenius dan Mr. Hooykaas

d. Keterangan

1. Tanggal 4 Oktober 1938 Sekolah Kristen di Margadadi dibuka (jumlah murid awal 50 orang anak suku Lampung dan Jawa). Jepang menutup sekolah tersebut pada tahun 1942.

2. Gereja di Metro berdiri 11 Februari 1940.

3. Terdapat 63 jiwa di Tanjungkarang (1938-1939). Gereja setempat berdiri 27 Agustus 1961.

4. Gereja di Belitang, Tanjungsari, Eling-eling berdiri 1939.

5. Kegiatan pelayanan dan organisasi.

Catatan

Data warga terlihat kecil. Mungkin karena para trasmigran Kristen itu telah pindah ke gereja Katolik yang jauh lebih dahulu memberitakan Injil di Sumatera Selatan (sejak 1928). Sekitar tahun 1937 misi Katolik sudah mendirikan 20 sekolah di lingkungan trasmigran.

3. Hambatan

a. Pemerintah Belanda tidak membiarkan kegiatan pemberitaan Injil ini begitu saja tetapi berusaha mengendalikan melalui peraturan. Peraturan itu sebagaimana dikutip E. Hoogerwerf a.l. berbunyi: "Pengajar-pengajar Kristen, para pastor dan para penginjil haras dilengkapi dengan izin khusus dari Gubernur Jendral atau wakilnya, agar mereka dapat melakukan tugasnya di salah satu wilayah Hindia Belanda".

b. Tercatat pemerintah Belanda menutup sekolah Kristen di Trimurjo yang dibangun oleh kelompok Kristen setempat (Maret 1939). Demikian juga pembangunan gedung gereja di Tugumulyo tidak boleh memakai menara, tidak boleh disebut gereja melainkan ruang rapat (Mei 1939).

c. Residen Lampung mendesak Pdt. Darmohatmodjo agar ia meminta surat dari Gubernur Jendral untuk kegiatannya di Lampung, namun temyata sulit mendapatkannya (tahun 1937).Pemberitaan Injil dari Protestan hanya berjalan secara diam-diam karena dihambat oleh pemerintah Belanda. Jadi, bila adaorang yang berpendapat bahwa pemerintah penjajah Belanda itu mendukung pemberitaan Injil atau gereja, pendapat itu tidak benar.

4. Perkembangan

d. Perkembangan Tahun-tahun Awal

Pada umumnya kelompok-kelompok Kristen dan jemaat Jawa itu berkembang, walaupun lambat. Tidak pernah ada lonjakan tambahan warga gereja, misalnya. Seiring dengan perkembangan itu pengadaan pendeta misioner makin mendesak. Hal ini terpenuhi dalam diri Pdt. J.S. Hardjowasita yang diteguhkan di GKJ Purworejo pada tanggal 28 Januari 1942 sebagai pendeta utusan. Tiga hari kemudian ia berangkat ke Lampung, menetap di Metro.

Ia memulai tugasnya dalam suasana perang, disusul masa penjajahan Jepang yang sangat sulit. Pada masa penjajahan itu jemaat sangat sulit. Jepang bersikap keras terhadap gereja karena mereka menganggap gereja sebagai kaki tangan Belanda, musuh mereka. Kebaktian harus ada izin, sekolah-sekolah ditutup. Banyak warga gereja tercerai berai, bahkan ada gereja yang bubar. Di mana-mana terjadi bencana kelaparan dan kematian, sehingga jemaat porak poranda. Gereja Gereformeerd Palembang, jemaat Eling-eling di Belitang bubar. Hubungan dengan Jawa dan antar daerah di Sumbagsel putus.

Walaupun demikian, Pdt. J.S. Hardjowasito bekerja dengan setia memelihara jemaat di Lampung dan Sumatera Selatan. Tanggung jawab yang besar itu dilaksanakan walaupun semua kebutuhan hidupnya, termasuk rumah tinggal, selama delapan tahun harus diusahakan sendiri. Jemaat Kristen Jawa yang masih ada tetap aktif selama zaman Jepang. Demikian juga selama perang kemerdekaan (Clash I dan II). Pengalaman yang menyusahkan itu meyakinkan Pdt. J.S. Hardjowasito bahwa gereja harus mengembangkan pelayanan di bidang kesehatan (pembangunan poliklinik dan klinik bersalin).

Sesudah Jepang menyerah, secara berangsur-angsur jemaat terhimpun kembali. Bahkan tumbuh jemaat baru seperti Srikaton. Je­maat Karang Kemiri mendirikan gedung gereja dengan kekuatan sendiri. Di bidang ketenagaan terjadi pengurangan dan penambahan. Guru Injil Sangidjo dari Palembang pulang ke Jawa. Margorejo dan Purwodadi (Metro) mengangkat guru Injil Yotham. Dia kemudian menjadi pendeta Margorejo, pendeta yang pertama di Lampung.

Gereja Gereformeerd Palembang juga terhimpun kembali, men­jadi kelompok dari gereja Gereformeerd di Batavia. Selanjutnya didewasakan ulang sebagai jemaat pada tanggal 30 Mei 1948.

Sementara itu GKJS dan gereja-gereja Jawa Tengah sebelah utara bergabung menjadi Gereja-gereja Kristen Jawa Tengah melalui keputusan sidang sinode di Salatiga 6 Juli 1949. Sidang sinode VI pada tahun 1958 di Kebumen mengubah nama tersebut menjadi "Gereja Kristen Djawa" (Akta VI, artikel 64).

Sehubungan dengan pekerjaan di Sumatera, sidang memutuskan:

Ø Pekabaran Injil di Sumatera tetap menjadi tanggung jawab GKJ.
Hubungan dengan Sumatera yang putus harus dibuka kembali.

Ø Menugasi GKJ Jakarta menjadi gereja pengutus (menggantikan GKJ Yogyakarta yang tak berfungsi sebab putusnya hubungan).

b. Perkembangan Sesudah Tahun 1949

i. Pembukaan dan biro konsultasi tanggal 6 Juni 1950 di Metro yang dipimpin R. Soetrono, perawat kesehatan. Masyarakat menyambut baik. Jumlah pasien setiap bulan mencapai 978 orang. Tahun 1951 biro tersebut mencatat 13.000 klien (orang yang dilayani).

ii. Tahun 1952 dibuka SD Kristen di Batanghari dan di Donomulyo.

iii. Dalam bidang ketenagaan, jemaat Batanghari mengangkat Filemon sebagai guru Injilnya. Pdt. J.S. Hardjowasito ditahbiskan ulang sebagai pendeta PI di Jakarta 28 Januari 1951. Jemaat Tanjungsari dan Srikaton masing-masing mengangkat guru Injilnya, yaitu Guru Injil Martono (Srikaton) dan Suprapto (Tanjungsari).

iv. Jemaat Srikaton dan Tanjungsari terhimpun kembali, masing-masing membuka sekolah.

v. Jemaat Tugumulyo terhimpun kembali. Terdapat 93 orang warga. Ibadah, katekisasi dilayani Yohanes dan Martoprayitno, warga jemaat yang aktif.

vi. GKJ Jawa Tengah, Gereja Gereformeerd Palembang, Gereja Gereformeerd Medan sepakat untuk menyatukan ketiga wilayah pekabaran Injil (Lampung, Belitang, Tugumulyo dan Sumatera Utara) di bawah nama "Pekabaran Injil Sumatera" pada tanggal 5 Juni 1951. Sejak itu berlaku peraturan bahwa setiap permintaan bantuan dari luar harus disetujui bersama.

vii.Berdirinya klasis Sumatera Selatan, 10 Juni 1952 dan perkem­bangan selanjutnya. Pdt. J.S. Hardjowasito mengambil prakarsa untuk membentuk klasis agar ikatan persekutuan antar gereja yang sudah ada itu bersifat tetap. Hadir dalam sidang klasis yang pertama ini sembilan orang penatua sebagai utusan dari empat gereja, yaitu Tanjungsari, Srikaton, Metro dan Batanghari. Sidang itu juga memutuskan untuk memberlakukan peraturan gereja dari Sinode Gereja-Gereja Kristen Jawa di Jawa Tengah, Jumlah warga dari keempat gereja tersebut sebanyak 547 orang (termasuk anak-anak). Dengan keputusan mengenai Tata Gereja itu berarti klasis Sumatera Selatan tetap menjadi bagian dari Sinode Gereja Kristen Jawa Tengah.

Enam tahun kemudian, dalam sidang sinode VI tersebut diusulkan agar Klasis Sumatera Selatan membiak menjadi dua klasis. Sinode memutuskan untuk mengadakan kunjungan. Dalam sidang sinode 1961 disetujui Klasis Lampung membiak menjadi dua Klasis. Kedua klasis tersebut ialah klasis Lampung (jemaat Metro, Batanghari, Sribawono, Wonosari) dan klasis Palembang (jemaat Palembang, Belitang, Tugumulyo, Srikaton, Tanjungsari). Klasis Lampung memikul 1% beban anggaran atau sesanggen sinode dan klasis Pa­lembang 1,5%.

Klasis Lampung yang pada tahun 1968 sudah beranggotakan 17 jemaat dewasa dalam sidangnya yang ke XI di Kotagajah memu­tuskan untuk mengusulkan pembiakan klasis ke sidang Sinode GKD XI di Salatiga, 1969, menjadi lima klasis, sbb:

a. Klasis Bandarjaya;

b. Klasis Seputih Raman;

c. Klasis Sri Bawono;

d. Klasis Metro;

e. Klasis Tanjungkarang.

Sidang ini menugaskan visitasi (pelawatan) untuk meneliti kelayakan usul tersebut Baru dalam sidang Sinode XII GKD di Klaten, Agustus 1971, diputuskan pembiakan klasis Lampung menjadi 4 empat klasis, sbb:

a. Klasis Metro,

b. Klasis Bandarjaya,

c. Klasis Seputih Raman,

d. Klasis Sribawono.

Dengan keputusan ini, gereja-gereja yang kemudian menjadi kla­sis Tanjungkarang digabung dengan klasis Bandarjaya. Baru kemudian klasis tersebut membiak menjadi klasis Bandarjaya dan klasis Tanjungkarang.

Sinode menilai ada perkembangan cepat di Lampung. Perkembangan yang cepat menuntut agar pengaderan jemaat dilaksanakan. Menjawab kebutuhan ini, sinode bekerjasama dengan GKN (Gereformeerd de Kerken in Nederland) mulai 1968 menugaskan Pdt. E. Hoogerwerf sebagai pendeta pengaderan.

Menyusul dalam sidang XIII/2 sinode GKJ, Juni 1974 di Salatiga diputuskan pembiakan klasis Palembang menjadi dua klasis, yaitu:

1 Klasis Belitang Buay Madang,

2. Klasis Palembang.

5. Paham Dan Pemikiran Untuk Mandiri Menjadi Sinode

Di sisi lain, sidang Sinode GKJ ke 12, 1971, secara prinsip sudah menyetujui usul Klasis Yogyakarta tentang pembiakan sinode men­jadi Sinode Wilayah. Kemungkinan pelaksanaannya masih akan distudi melalui Deputat Penyelidikan. Dalam sidang sinode GKJ XIII/2 secara definitif pembiakan itu diputuskan. Seluruh sinode dibagi dalam tiga wilayah, yaitu Sinode Wilayah I GKJ meliputi Sumatera bagian Selatan, Sinode Wilayah II dan III wilayah Jawa Tengah, Bandung dan Jakarta.

Sidang Sinode Wilayah I GKJ ke VIII di Tanjungkarang, 1981, memutuskan untuk mengusulkan kepada Sinode GKJ untuk mandiri sebagai sinode sendiri, lepas dari GKJ. Sidang tersebut mengangkat Panitia Studi Kemandirian untuk menyusun materi usul kepada sinode GKJ dan menjemaatkan keputusan sinode tersebut agar jemaat meningkatkan persiapan kemandirian tersebut Adapun Panitia tersebut terdiri dari:

Pdt. Yussar Yanto (Ketua),

Pdt. R.S.Poedjosoewito,

Pdt. Basar H.,

Ir. Gunarto Dw.,

Pdt. Untung Marsudi,

Pdt. Rumanto,

Pdt. Abner Siswosuwito.

Dalam sidang Sinode GKJ XVI di Salatiga, September 1981, Sinode GKJ mengangkat Panitia Persiapan Sinode Wilayah I GKJ menjadi Sinode sendiri. Tugas Panitia itu ialah mempersiapkan sinode Wilayah I GKJ menjadi sinode sendiri dalam segala aspek. Panitia tersebut terdiri dari:

Pdt. Widjojo Hadipranoto (Ketua),

Drs. FW Singataruno SH,

Ir. Gunarto,

Pdt. Marwoto,

Pdt. Dr. Harun Hadiwijono.

a. Paham Gereja-gereja Sinode Wilayah I GKJ Tentang Mandiri Sebagai Sinode

Pengembangan pemikiran tentang kemandirian berjalan sesuai dengan konsep kemandirian yang dirumuskan PGI. Kemandirian itu meliputi tiga aspek yang bidang besar, sbb.:

i. Kemandirian teologi, daya dan dana. Kemandirian ketiga as­pek ini merupakan proses terus-menerus sepanjang kehidupan gereja. Artinya, tidak pernah selesai. Kemandirian teologi berarti pengembangan teologi yang relevan dan kontekstual. Kemandirian daya berarti pemberdayaan SDM untuk melayani dan menatalayani. Kemandirian dana berarti pengadaan / penggalian dan pengelolaan dana guna menopang pelaksanaan tritugas gereja (bersekutu, bersaksi dan melayani). Ketiga aspek ini merupakan kesatuan dan saling menentukan satu sama lain. Proses kemandirian ini selalu mempersoalkan relevansi dalam perkembangan konteks (wilayah, masyarakat, budaya, agama-agama, ekonomi dll.)

ii. Kemandirian secara kelembagaan. Artinya, sinode GKSBS yang semula adalah Sinode Wilayah I GKJ menjadi sinode sen­diri, lepas dari Sinode GKJ. Hubungan dengan GKJ selanjutnya pada prinsipnya dikembangkan dalam kerangka gerakan oikumene. Dibandingkan dengan hubungan dengan gereja-gereja lain, "nilai lebih" dalam hubungan GKSBS-GKJ ialah sejarah bersama dan kejiwaan, saling menerima sebagai "gereja saudara".

iii. Tekad untuk menjadi gereja daerah, yaitu gereja yang melayani semua orang di daerah Sumbagsel. GKSBS tidak berminat untuk menjadi gereja suku di tengah masyrakat majemuk di Sumbagsel.

Panitia Kemandirian Sinode Wilayah I merumuskan paham kemandirian ini dan menjemaatkannya, sendiri dan bersama-sama dengan Panitia Kemandirian dari Sinode GKJ. Penjemaatan ini dilakukan melalui musyawarah Majelis jemaat dan sidang-sidang. Di situ juga dibahas tentang salah pengertian mengenai kemandirian.Misalnya, penyempitan pengertian kemandirian hanya pada aspek dana.

Tercatat juga bahwa Sinode Wilayah ini telah bergerak mela­yani masyarakat a.l. melalui YPK (Yayasan Pendidikan Kristen), yaitu YPK di Lampung, YPKSS di Sumsel, YPKB di Bengkulu, YABIMA (Yayasan Bimbingan Mandiri), Sosek, Kesehatan (dengan mendukung YAKKUM). Demikian juga jemaat melayani masyarakat. Masyarakat juga menerima kehadiran gereja-gereja. Banyak kegiatan melayani pekerjaan Tuhan di dalam masyarakat namun tentu masih banyak yang belum dikerjakan. Rangkaian kegiatan penjemaatan ini menghasilkan kebulatan tekad untuk mandiri menjadi sinode sendiri.

Seluruh proses itu adalah proses gerejawi. Dari pihak GKJ de­ngan sengaja mempersiapkan kemandirian menjadi sinode tersebut Berdirinya GKSBS adalah karena pembiakan, tidak karena perpecahan gereja.

Sidang Sinode GKJ XVIII di Yogyakarta, Agustus 1987 memutuskan: merestui kemandirian Sinode Wilayah I GKJ menjadi Sinode GKSBS. Keputusan ini dituangkan dalam sebuah piagam tertanggal 6 Agustus 1987.

6. Pengakuan Keberadaan Kelembagaan Sinode GKSBS

Tentang hal ini dapat disebutkan dua tanggal, sbb:

a. Berdasarkan piagam dari Sidang Sinode GKJ XVIII adalah 6 Agustus 1987.

b. Berdasarkan pengakuan pemerintah adalah 14 Oktober 1987 (tanggal dari SK Dirjen Bimas Kristen Protestan Departemen Agama R.I. Nomor 100 tahun 1987 tanggal 14 Oktober 1987).

Stelsel/sistem Pemerintahan Gereja (lih. Pertemuan 15).

7. GKSBS Dan Gerakan Oikumene

a. Sinode GKSBS yang berdiri pada tahun 1987, setahun kemudian diterima menjadi anggota PGI dalam sidang MPL PGI di Kendari, 20-27 April 1988.

b. GKSBS juga berpartisipasi dalam gerakan oikumene lokal, sbb:

i. Di propinsi Lampung, Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu jemaat-jemaat GKSBS setempat menjadi anggota PGI Wilayah setempat. Dengan demikian selalu ikut serta dalam mewujudkan keesaan di tingkat propinsi.

ii. Di daerah-daerah di mana GKSBS hadir, mereka berpar­tisipasi dalam lembaga atau forum oikumene setempat seperti, BK3 (Badan Kerjasama Kegiatan Kristen), BKSAG (Badan Kerjasama Antar Gereja), POUK (Persekutuan Oiku­mene Umat Kristen) di perusahaan maupun pemukiman.

iii. Internasional. Di kancah oikumene internasional, GKSBS menjadi anggota dari:

s REC [Reformed Ecumenical Council - Dewan Gereja-Gereja Reform), diterima menjadi anggota dalam Sidang Raya REC di Athena-Yunani, 30 Mei - 4 Juni 1992. Badan ini adalah dewan gereja-gereja Reformasi yang berpusat di Grand Rapids, Amerika Serikat.

s WARC [World Alliance of Reformed Churches - Persekutuan Gereja-Gereja Reform se Dunia), diterima dalam Sidang Raya WARC di Hongaria, 8-15 Agustus 1997.

Kedua organisasi ini adalah wadah gereja-gereja reformasi se dunia. GKSBS berpartisipasi dalam pergumulan gereja-gereja reformasi sedunia. REC lebih menekankan segi pengajaran sedangkan WARC lebih menekankan terapan iman Kristen dalam konteks (kebudayaan, politik, ekonomi dll.).

8. Refleksi

a. Para trasmigran itu saling mencari satu sama lain. Roh persekutuan di antara mereka sangat kuat. Secara lambat laun mengorganisasikan diri menjadi kelompok-kelompok Kristen Jawa di Tanjungkarang, Pringsewu/Ambarawa, Trimurjo/ Metro, Belitang, Tugumulyo (Lubuk Linggau). Mereka mengadakan kebaktian. Tercatat para pengkotbah awam seperti Sukardi, Kamad, Suharto dari Tanjungkarang.

b. Mereka bersemangat untuk mewujudnyatakan hidup baru dalam Kristus agar menjadi teladan dalam masyarakat.

c. Mereka sadar akan kemajemukan masyarakat dari segi suku, agama, kebudayaan dll. Mereka mengembangkan kerukunan, solidaritas satu sama lain, tanpa pandang agama, di lingkungan masyarakat kolonis dengan kehidupan yang serba sulit untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih baik daripada kehidupan mereka di Jawa. Masyarakat asli dan sesama pendatang menerima kehadiran mereka.

d. Kehidupan baru dan cara mereka bermasyarakat menarik bagi banyak orang. Timbul simpatisan-simpatisan dan orang-orang yang belajar agama Kristen. Contoh: di Jambi 1 KK tetapi ibadah terkumpul 30 orang (1934), di Tugumulyo 20 baptisan baru (1938-39), di Belitang ada 21 orang Kristen dan baptisan baru 15
orang (1937-39). Trasmigran itu tampil "seadanya" untuk melayani calon-calon warga itu dengan katekisasi yang "seadanya" pula. Tidak ada yang membimbing mereka. Belum ada gereja atau pendeta sebagai payung dan panutan mereka. Ketika perkembangan kelompok-kelompok itu terjadi, mereka menggagas perlunya guru Injil, kolportir. Gagasan ini baru terwujud kemudian sesudah misi dari GKJS datang. Guru Injil merangkap kolportir yang pertama ialah Abjatar Mardioesodo yang diangkat oleh GKJS 1 Januari 1939, bekerja sampai 1940.

e. Dalam konteks masyarakat yang pluralistik dan situasi serba baru itu para kolonis itu berteologia sendiri. Mereka haras menjawab pertanyaan bagaimana bermasyarakat, bagaimana memberitakan Injil, bagaimana membuat kotbah dan liturgi, bagaimana mengajar calon-calon warga dll. Salah satu "mutiara" teologi mereka ialah paham bahwa iman dan uman (=sandang pangan, kebutuhan fisik, bahasa Jawa) tidak terpisahkan atau dwitunggal. Mereka tidak mementingkan rohani saja tetapi rohani dan jasmani sekaligus. Tekanan kepada uman ini memang masuk akal sebab kesulitan sosial ekonomi trasmigran pada tahun-tahun awal.

f. Perkembangan yang sama juga terjadi bersamaan dengan pembukaan daerah-daerah baru di masa Sinode Wilayah I dan ta­hun-tahun awal berdirinya Sinode GKSBS. Begitu banyak kelompok-kelompok DPB yang kemudian menjadi CJ atau terintegrasi dengan jemaat-jemaat dewasa. Perkembangan itu tidak hanya karena trasmigran dari Jawa tetapi juga karena translok.

II. MASA DEPAN GKSBS

Sejarah adalah masa depan, demikian kata orang. Kebenaran kata-kata itu ditentukan oleh kemampuan untuk merefleksikan data dan peristiwa masa lampau sebagai pelajaran untuk melangkah maju. Dalam hal sejarah GKSBS sebagai sejarah gereja di dalam perjalanan itu ada karya Allah di dalam Roh Kudus yang bekerja di GKSBS dan melalui GKSBS.

Beberapa hal yang penting dalam perjalanan ke depan itu, sbb:

Sikap tanggap GKSBS terhadap masalah-masalah masyarakat dan bangsanya.

Hubungan dan kerjasama antara GKSBS dengan umat beragama lain, masyarakat dan pemerintah.

B. POKOK-POKOK DISKUSI

1. Apa saja yang menarik perhatian saudara dari sejarah, pergumulan dan keberadaan GKSBS?

2. Apa saja yang dapat dianggap sebagai tanda dari kesadaran GKSBS sebagai gereja di wilayah Sumbagsel ini?

3. Apa saja yang menjadi faktor kunci penentu masa depan GKSBS? Jelaskan!

4. Bagaimana pendapat dan sikap saudara mengenai masalah, tantangan, harapan dan kesempatan GKSBS di wilayah ini?

Tidak ada komentar: