Minggu, 20 April 2008

Pertemuan 38


AGAMA-AGAMA ASLI INDONESIA

Tujuan umum Katekumen memahami apakah agama suku dan

fenomenanya didalam masyarakat sekarang.

Tujuan khusus Katekumen dapat menentukan sikap terhadap nilai-nilai

agama suku dan fenomennya dalam kehidupan.

PENGANTAR

Kita perlu mengenal agama asli yang telah terjalin dalam adat, tradisi, hukum adat, kebudayaan yang bhineka bahkan agama-agama. Agama asli ini tampil dengan seribu wajah dalam dunia modemrn kita. Kita akan membahas pokok-pokok ini dengan sistematika berikut ini:

I. Nama, definisi/pengertian

1. Nama

2. Definisi/pengertian

II.. Timbulnya agama asli

1. Dinamisme

2. Animisme.

III .Beberapa pokok pengajaran agama asli

1. Tentang Tuhan

a. Di Indonesia bagian Timur

b. Di Indonesia bagian Barat

2. Tentang manusia

3. Tentang dunia

IV.Agama asli dan modernisasi

V. Refleksi

A. URAIAN

I. NAMA, DEFINISI/PENGERTIAN

1. Nama

Agama asli disebut dengan beberapa nama: Agama Suku, Agama Bersahaja, Agama PriinitifPrimitif, Kejawen (khusus yang berhubungan dengan pandangan orang Jawa), Agama Suku Iniirba, Agama Budaya. (Suku Murba ialah suku-suku yang meskipun sudah modern tetapi masih menganut agama asli).

2. Definisi/Pengertian

Apakah agama asli itu? Agama asli ialah sistem kerohanian yang khas suatu suku bangsa yang memang berasal dan berkembang di tengah suku itu sendiri, bukan tiruan dari sumber lain di luarnya.

Agama-agama asli mempunyai pengajaran, peraturan tentang tingkah laku dan upacara-upacara serta para pejabat adat. Tetapi pengajar­an itu tidak bersifat doktriner (tersusun sebagai doktrin) atau pengajaran yang baku dan sangat beranekaragam. Itulah "kekurangan" agama asli ini yang mengakibatkan ia makin terdesak oleh agama-agama besar. Nilai-nilai pengajaran agama asli itu terjalin dalam adat, hukum adat, agama-agama besar.

II. TIMBULNYA AGAMA ASLI

Kapan timbuhiya agama itu tak dapat diketahui. Agama ini diturun-alihkan tanpa diketahui siapa pendirinya, tanpa organisasi dan tanpa alamat. Tentang alasan-alasan mengapa agama itu timbul, persoalan itu berhubungan erat dengan paham dinamisme dan animisme yang meru-pakan inti dari agama ashasli'. Kedua kepercayaan ini saling berhubungan erat, tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat dipastikan manakah yang lebih dahulu dan yang kemudian.

1. Dinamisme

Kata "Dinamisme" berasal dari kata "dinainisdinamis", artinya daya, kekuatan atau kekuasaan. Dinamisme ialah kepercayaan bahwa ada benda-benda keramat (=pusaka) yang mengandung kekuatan atau kekuasaan gaib dan tidak berpribadi. Daya itu dapat dikuasai manusia atau sebaliknya daya itu menguasai manusia. Benda yang mengandung kekuatan gaib itu berupa jimat, keris, tombak dll. milik masyarakat, lembaga-lembaga adat dll. Keraton Yogyakarta menyimpan banyak pusaka yang diberi nama atau gelar. Ada tombak yang diberi gelar "Kanjeng Kyai" (A.G. Honig Jr, 1966, hlm. 34). Benda-benda keramat ini dixrawat dengan upacara-upacara, diberi "makan"dengan sesajen.

Menurut paham dinamisme, manusia dikelilingi oleh kekuatan gaib yang menakutkan atau menakjubkan. Manusia merasa lemah, kecil dan tak berdaya menghadapi kedahsyatan alam (gempa bumi, gunung meletus, banjir dll.) dan merasa tergantung dari belas kasihan kekuatan gaib itu. Belas kasihan itu dapat diminta dengan mantra.

2. Animisme

Kata "animisme" berasal dari kata "anima" yang berarti nyawa. Menurut suku-suku priinitifprimitif, nyawa ialah kekuatan atau daya yang dapat tinggal pada manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan bahkan pada segala sesuatu. Manusia memiliki nyawa sedikit atau banyak dan dapat menambah nyawa (misalnya, dengan jalan mengayau di Kalimantan). Semua bagian badan dan nafas itu mengandung "zat nyawa". Orang harus hati-hati bila memotong rambut, kuku dll. sebab dapat mengurangi zat nyawanya. Hantu, harimau, buaya, kunang-kunang jadi-jadian dianggap sebagai nyawa yang ke luar dari tubuh manusia (A.G. Honig, 1966, hlm. 51).

Roh-roh itu tak terhitung banyaknya dan mempengaruhi manusia. Di antaranya dewi Sri (=mbok Sri), dedemit, nyai Roro Kidul, prewangan, siluman, buto ijo. Ada roh yang menolong manusia dan aida yang mengganggu. Roh yang menganggu itu dijinakkan dengan sesajen, man­tra, bunga dan Ilain-lain. Manusia takut kekuatan gaib itu tetapi tertarik untuk berhubungan, menguasai, memakai.

III. BEBERAPA POKOK PENGAJARAN AGAMA ASLI

1. Tentang Tuhan

Studi tentang dongeng dan cerita rakyat berkesimpulan bahwa suku-suku Murba itu percaya adanya dewa yang tertinggi, bukan roh, bukan manusia, mandiri, tidak dapat mati, tidak berpribadi. Dewa yang tertinggi itu disebut Tuhan. Dewa inilah yang menurunkan nenek moyang suku-suku dan menetapkan serta kemudian mengawasi adat dan upacara-upacara keagamaan (Seno Harbangan Siagian, 1988, hlm. 29).

Ada perbedaan pandangan tentang Tuhan di antara suku-suku di Indonesia bagian timur dan bagian barat, sbb.:

a. Indonesia Bagian Timur

Semula ada sepasang dewa dan dewi, suami istri, yang kemudian menjelma menjadi matahari dan bulan atau langit dan bumi. Mereka itu sebenarnya satu, sebab mereka suami istri. Dari mereka itulah asal segala sesuatu. Ada suku-suku yang percaya bahwa langit dan bumi atau matahari dan bulan itulah asal segala sesuatu (memberi kesuburan, musim, hujan, panen dll.). Di Flores, Tuhan itu disebut Mori Karaeng (=Tuhan segala Tuhan). Di Toraja disebut Puang Matua. Di InMinahasa disebut Empung. Di Bali disebut Sang Hyang Tunggal. Selain percaya kepada Tuhan, suku-suku itu juga percaya adanya roh-roh halus.

b. Indonesia Bagian Barat

Suku-suku di Indonesia bagian barat percaya bahwa pada mulanya ada dua tokoh yang bersifat ilahi, yang satu baik dan satu lagi jahat, sauling bermusuhan. Permusuhan itu di dunia ini dirasakan dalam pengalaman hidup manusia. Suku Batak menyebut dewa tertinggi itu Debata Mula Jadi Na Bolon yang menciptakan segala sesuatu hanya dengan berkata. Makhluk ciptaan yang pertama ialah Batara Guru (ia hakim yang adil, penjaga ketertiban); Soripada (pemarah); Manggabulan (jahat). Ketiganya ditugasi untuk menjalankan kekuasaan Debata.

Tuhan disebut "Yang Ilahi" atau "Yang Gaib." Dia menampakkan wajah rangkap, menyenangkan dan mengerikan. Sikap manusia terhadap Tuhan ialah wedi asih (takut tetapi cinta). Banyak nama untuk Tuhan, mungkin sebanyak suku di Indonesia ( 366 suku atau 472 sub (anak) suku, termasuk suku-suku terasing, berjumlah hampir 1.600.000 jiwa). Tetapi tempat Tuhan itu nun jauh di sana. Dia itu samar-samar dan gaib. Orang Jawa menyebutnya "tan kena kinaya ngapa" (=tak ter-lukiskan). Sesudah menciptakan dunia Dia menganggur. (Paham yang menganggap bahwa Tuhan itu jauh dan tidak campur tangan dalam urusan manusia disebut deisme). Maka manusia mencari akal bagaimana caranya berhubungan dengan Dia itu dapat terlaksana.

Maka timbullah paham bahwa Tuhan menjelma dalam berbagai bentuk seperti berhala, ngelmu, alam (matahari, bulan, bumi, pohon angker dan Ilain-lain) seperti telah diuraikan di atas. Karena suasana alam rohani itu tertib, maka lahirlah kepercayaan tentang takdir, takhyul, sihir dan petung dina (perhitungan hari baik dan jahat). (Sampai sekarang banyak orang yang menganggap ada hari/bulan yang tidak baik untuk peinikahanpernikahan. Gereja sering direpotkan permintaan warganya untuk pernikahan berdasarkan atas petung dina ini). Sebagian lagi menganggap Tuhan menitis pada raja-raja. Paham ini disebut dewa raja. Rakyat mendapat berkah dari raja. Kedewaannya dinyatakan di candi-candi dan upacara-upacara seperti upacara gerebeg, tarian bedoyo, kirab di Yogyakarta, misalnya.

2. Tentang Manusia.

Alam ini mempunyai jiwa yang disebut jiwa alam. Manusia berasal dari jiwa alam itu dan roda kehidupannya akan berakhir lebur kembali ke alam baka. Bila orang tidur, pingsan atau berinimpimimpi, jiwanya meninggalkan badan. Bila orang meninggal dunia, jiwa baru meninggalkan badan bila penguburan jenasah dilakukan dengan semestinya. Bila tidak demikian, jiwa akan menjadi hantu.

Manusia terdiri dari badan dan jiwa serta suksma. Manusia hanya memiliki jiwa selama hidupnya. Orang yang meninggal tetapi tidak dikuburkan dengan semestinya, jiwanya menjadi hantu. Tetapi ada pendapat lain bahwa jiwa tersebut bisa lahir kembali, bahkan dapat berulang kali. Pendapat lain lagi mengatakan bahwa jiwa tersebut kembali ke jagad raya lagi dan terurai serta lebur dengan jagad raya. Tetapi hal "lebur" ini tidak hanya pada waktu meninggal. Orang yang hidup juga dapat melatih diri untuk mengalami lebur dengan jagad raya ini. Pengalaman ini disebut "suwung" atau kosong atau "mati sajroning urip". Latihan itu disertai dengan irama gendang, bakaran dupa, jathilan (kuda lumping), samadi, kesurupan. Bila tercapai tahap itu orang akan men­jadi sakti, dapat menghilang atau menjadi dukun peramal.

3. Tentang Dunia.

Sejak awal mula ada alam atas dan alam bawah, seperti matahari dan bumi. Terjadi perkawinan antara keduanya dan melahirkan dewa-dewa, para penguasa dan para pemimpin dunia ini. Pada suatu ketika terjadi

peperangan antara para dewa dan leluhur. Dalam pertempuran itu salah satu mati. Kematiannya menjadi korban yang menghasilkan segala sarana untuk kehidupan manusia seperti padi, kelapa, buah-buahan dll.

Manusia kemudian menentukan mata angin dan menggolong-golongkan isi dunia ini menjadi yang vertikal (ke atas) dan horisontal (mendatar). Penggolongan ini demi tertib dunia. Dari sini kemudian lahir budaya ramalan dan horoskop, astrologi atau perbintangan. Gerak-gerik bintang dianggap menentukan gerak manusia. Orang dilahirkan sudah dikuasai bintang-bintang yang menentukan watak, pekerjaan, rezeki, jodoh dan lIain-lain. Supaya hidup bahagia, orang harus hidup secara serasi (selaras) dengan bintang-bintang itu. Misalnya, bila bintang orion timbul di timur, itu pertanda orang harus mulai membajak sawah. Manusia harus menyesuaikan diri dengan ketentuan itu dalam bertani.

IV. AGAMA ASLI DAN MODERNISASI

Telah disebutkan bahwa agama ashasli itu sekarang terserap dalam agama-agama besar dan Kebatinan. Karena itu ada agama Islam Kejawen, campuran Islam dan Kejawen. Sekalipun masyarakat berkembang men­jadi modern dan terpelajar, ternyata nilai-nilai agama asli itu tidak sirna, hanya mengalami krisis. Slametan untuk arwah orang mati/menolak bala, peguron (dukun klenik/ngehnlmu), para normal, jimat untuk kekebalan tubuh, membangun bangunan dengan menanam kepala kerbau, percaya adanya demit yang bahurekso, memedi, gendruwo, tujul, tempat sangar, pohon angker, danyang, perhitungan hari baik hari jelek masih subur dalam masyarakat. Termasuk masyarakat kota masih melakukan slametan dan percaya akan hal-hal itu.

Modernisasi mungkin baru merubah "kulit" bangsa kita sedangkan isinya tetap yang lama. Negara tidak mengakui agama suku sebagai aga­ma. Tetapi agama ini tetap hidup, diturun-alihkan melalui dongeng, sihir, tenung, primbon, dukun, guru ngehnu dan wayang, kesenian (ter­masuk kuda lumping yang mabuk), petung hari/dina (perhitungan hari baik/jelek) dan upacara (bersih desa, mendirikan rumah, wiwit/panen padi, tingkeban, ngruwat, kelahiran, selamatan, cerita rakyat dll.).

Menurut Sena Harbangan Siagian, ada tiga alasan mengapa agama asli sulit ditinggalkan:

1. Karena orang Indonesia berbakat sinkretis (mencampur adnukkan agama/ kepercayaan;

2. Karena agama asli ini sudah mendarah daging;

3. Karena agama asli ini menyatu dengan kebudayaan, sulit sekali dipisah- pisahkan. (Sena Harbangan Siagian, 1988, hlm. 26).

V. REFLEKSI

1. Tentang dewa yang tertinggi. Dewa tsb. juga disebut Tuhan, Gusti atau nama-nama lain di kalangan suku-suku Indonesia. Idea tentang Tuhan versi ini tetap hidup di kalangan innumat beragama. Bahkan nama mereka juga "dipinjam" dalam terjemahan Alkitab, seperti Debata (Batak) dan Puang Matua (Toraja). Apakah ini berarti nama "Tuhan" itu "wadah" yang kosong dan dapat diisi dengan apa saja? Yang jelas, paham tentang dewa tertinggi gjitu kabur atau tidak konkrit.

Dari Alkitab, "konsep" Tuhan itu tidaklah abstrak. Tuhan adalah Tuhan yang hidup dan bekerja secara nyata dalam sejarah dan telah berinkamrnasi dalam Yesus Kristus. Tentu tidak mustahil orang berangkat dari "Tuhan" datang kepada Kristus. Dalam proses berkat bimbhingan Roh Kudus, bentuk yang lama itu akan makin terisi oleh yang baru. Bukankah Kristus menjemput semua orang dari dunia masing-masing?

2. Dari dinamisme dan animisme, kekuatan dan roh-roh gaib. Mungkin memang tidak ada tawar-menawar dengan kepercayaan yang ditawarkan oleh keduanya. Kristus telah menang dan menguasai segala kuasa di langit dan di bumi (Mat. 28:18).'Betapa suhlitnya orang mencampakkan keduanya, itu jelas. Sena Harba­ngan mengingatkan bahwa kesulitan itu justru dari dalam diri kita sendiri. Dinamisme maupun animisme mengajar orang supaya takut kepada alam. Korban, sesajen dan mantra harus dibuat untuk merayu segala kuasa itu agar jangan mencelakakan. Hal itu bertentangan dengan pesan Alkitab supaya manusia menguasai alam, mengeksploitir sekaligus memelihara demi kesejahteraan hidup dalam semangat hormat dan cinta kepada Tuhan.

B. POKOK-POKOK DISKUSI

1. Apa saja alasan timbulnya agama-agama asli?

2. Sebutkan kepercayaan agama asli yang masih hidup dalam masyarakat /umat beragama! Jelaskan!

3. Bagaimana sikap dan pandangan iman Saudara terhadap keperca­yaan dari agama-agama suku yang masih hidup itu?

Tidak ada komentar: